Minggu, 28 Januari 2018

Cerpen: Sesuatu Tentang Bapak

Oleh: Leli Erwinda

"Cincin apa itu, Rin?" Pertanyaan Ibu ibarat petasan yang disulut korek api. Meletup tepat di dadaku.

"Cuma cincin mainan kok, Bu," kilahku, cepat.

"Kamu jangan bohong sama Ibu. Ayo jawab jujur. Dari Agus, kan?"

Kali ini aku tidak bisa bohong. Oh, tidak, bukan hanya saat ini saja. Sudah berkali-kali aku gagal merahasiakan sesuatu dari ibu. Serapat apa pun aku menyimpan, sekeras apa pun sangkalan, pada akhirnya tetap saja ketahuan. Wanita itu seakan mampu membaca pikiranku. Instingnya kuat sekali.

"Iya, dari Mas Agus. Maaf, Bu, tapi tolong rahasiakan ini dari Bapak, ya. Ririn belum mau mati."

***

"Sekali saja kamu ngotot bertemu laki-laki itu lagi, lihat ... lihat saja nanti. Ibumu bakal nangis darah di atas jasadmu. Tak bunuh kamu, Rin!"

Bapak mengancamku sambil mengacung-acungkan golok kesayangannya. Besi panjang, pipih, dan tajam yang lebih dicintai ketimbang anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Benda yang bisa membuat bapak tidak bisa tidur semalaman hanya karena ketinggalan di ladang. Benda, yang barangkali bisa menukar nyawaku dengan kehormatannya.  Bapakku gila hormat. Sementara aku, rasanya hampir dibuat gila karena punya bapak sepertinya.

Harus kuakui, bapak memang salah satu orang tersohor dan disegani di kampung. Mengingat warisan tanah berhektar-hektar dari buyutku, sawah, dan sapi-sapi—yang menjadi ukuran kekayaan seorang penduduk kampung—yang kadang membuatnya besar kepala.
Masih kuingat nasihat menggelikan bapak sewaktu hubunganku dan Mas Agus belum diketahui olehnya.

"Menikahlah dengan lelaki seperti bapakmu ini, Nduk. Yang warisannya banyak. Makmur nanti hidupmu," ujar Bapak dengan pongahnya.

Aku hanya tersenyum kecut. Mengejek dalam hati. Tidak sudi rasanya bersuami seperti bapak. Harta boleh banyak. Tapi perangainya, terutama sifat sombongnya, amit-amit.

Di mata penduduk kampung, beliau dikenal sebagai warga yang berada, supel, dan dermawan. Hampir selalu turut andil di kegiatan kemasyarakatan. Tidak setengah-setengah bila dimintai iuran. Pokoknya wah, sekali! Tapi di mata putrinya ini, bapak tidak lebih dari seorang yang hobi membangun pencitraan.

Jika benar bapak orang baik, kenapa kebaikannya hanya dilimpahkan pada lingkungan? Kenapa begitu sulit untuknya menerima Mas Agus sebagai pendampingku hanya karena masalah pekerjaan? Apa faktor uang? Sesulit apa pun hidup kami nanti, aku berjanji tidak akan mengemis padanya. Lalu apa yang beliau risaukan?

"Dengar tidak, Rin?" Aku masih bergeming. Kontras dengan pikiranku yang ramai oleh umpat kekesalan pada bapak. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi sayangnya bapak bukan orangtua yang bisa diajak kompromi, terutama dengan anaknya.

"Rin?!" ulang Bapak, nadanya naik. Wajah dan matanya memerah seperti banteng mau ngamuk.

Aku tidak menyahut. Beranjak dari kebun kopi coklat belakang rumah, meninggalkan bapak yang belum selesai marah-marah. Aku berlarian sambil menahan sesak di dada, tidak tahu mau ke mana. Terpenting sejenak menjauh dari bapak.

Lari pagi kesiangan, mungkin itu yang tercetak di pikiran orang-orang saat berpapasan denganku. Bukan waktunya untuk peduli, pokoknya lari saja.

"Ririn! Ada apa?!"

Aku terus berlari, meski tahu benar itu suara Mas Agus. Aku baru ingat kalau kami ada janji bertemu.  Namun ancaman bapak kembali berdengung di telinga. Bapak akan membunuhku kalau aku sampai kepergok bersamanya.

Mas Agus mengejarku sambil terus memanggil-manggil. Berkat kakinya yang jenjang ia dengan mudah menyusul gerak kaki mungil ini. Digamitnya pergelangan tanganku, aku pun berhenti dan menoleh dengan napas yang masih ngos-ngosan. Matanya menangkap mataku. Tatap itu mengisyaratkan rasa bingung bercampur khawatir.

"Aku ... baik-baik saja, kok, Mas," ujarku, tidak meyakinkan.

Ia menggeleng, tahu benar kalau aku berbohong. Digenggamnya jemariku, melayangkan pandang sebentar, lalu membimbingku ke warung kopi Pakde Karjan. Warungnya masih sepi, syukurlah, karena itu artinya aku tidak perlu khawatir seseorang mengadu pada bapak. Tapi ini tidak benar. Tidak untuk situasi sekarang.

"Aku harus pergi, Mas," kataku, tak berdaya.

"Kamu ada apa? Kenapa buru-buru? Hari ini 'kan kita memang ada janji bertemu."

"Iya, aku nggak lupa, kok. Tapi tolong, Mas. Nggak untuk hari ini."
Mas Agus menghela napas. Ada seraut rasa kecewa yang coba ia tutupi.

"Pergilah, Rin. Meskipun Mas nggak mengerti masalahmu, dan nggak berhak memaksamu untuk cerita. Mas cuma mau kasih ini. Dan, selamat hari jadi kita yang kedua. Doakan uang Mas cepat terkumpul supaya tahun depan bisa lamar kamu."

***

Ibu mengernyit saat mendengar kata mati.

"Ngomong apa tho, Rin? Apa hubungannya pakai cincin pemberian Agus, ketahuan Bapak, dan mati?"

"Ibu kemarin nggak dengar? Bapak mau bunuh aku, kalau aku sampai ketahuan masih ketemuan sama Mas Agus."

Ibu langsung diam. Menerawang. Entah pikirannya mulai menjelajah ke mana. Yang jelas aku merasa ditinggal. Tak lama air mukanya berubah.  Aku mengendus sesuatu yang tidak mengenakan akan terlontar dari mulut ibu. Dan benar saja.

"Mulai sekarang jauhi saja laki-laki itu, Rin. Kalau bukan kamu, bisa jadi Agus yang celaka. Bapakmu bukan orang yang suka main-main dengan omongan."

Bagus! Kedua orangtuaku rupanya telah bersekutu. Mereka tidak ingin kami bersatu.

"Ririn nggak janji, Bu." Aku menyahut sambil menahan nyeri di dada. Bertanya pada Tuhan.  Kenapa situasinya malah jadi sulit saat aku dan Mas Agus ingin memantapkan hubungan?

"Tapi berjanjilah untuk menjaga diri dari amukan bapakmu," lanjut ibu.

Aku menelan liur. Melahap kata-kata ibu. Diiringi suara golok yang tengah diasah bapak yang tertangkap gendang telingaku. Terdengar ngilu. Ah, apa mungkin hidupku akan berakhir di tangan bapakku sendiri? Jika iya, maka sama halnya bapak mencoreng wajahnya sendiri dengan arang. Kematianku bakal jadi titik awal lunturnya rasa hormat orang-orang padanya.

Kopi dan kue klepon kesukaan bapak sudah disiapkan ibu pada nampan. Aku diminta mengantarnya ke pekarangan belakang. Ke tempat favorit bapak menghisap cerutunya, juga tempat biasa beliau mengasah golok kesayangan. Benda itu lagi. Terus terang aku merinding tiap mengingat atau menyebut benda itu.

Bapak tidak ada. Kuletakkan saja nampannya di kursi bambu. Untuk beberapa saat mataku menyapu, tetap tidak ketemu. Namun kilat golok yang ditimpa sinar mentari membuatku silau. Bapak pasti lupa tidak membawanya.

Entah keberanian dari mana, mungkin saja dorongan rasa penasaran, aku mendekati benda yang sudah seperti belahan jiwa bapak. Tanganku agak gemetaran saat meraihnya. Takut ketahuan oleh bapak.

Kuusap permukaannya dengan hati-hati. Tajam sekali. Pastilah sekali tebas lawan langsung tumbang. Asal bukan leherku saja yang jadi sasaran. Lalu mendadak ada yang menarik perhatianku. Di dekat gagangnya, tertera ukiran nama. Nama bapak, dan nama seorang wanita. Tapi bukan ibu.

"Anak lancang!" umpat bapak, mengampiriku. Matanya mendelik sampai mau copot. Aku pun dibuat gelagapan setengah mati. Sampai-sampai, golok dalam genggaman terlepas. Nyaris mendarat di jempol kaki.

"Si-siapa perempuan itu, Pak?"

"Itu nama almarhumah ibunya Agus. Pacar simpanan bapakmu dulu!" sahut ibu tiba-tiba dari arah belakangku.

"Sekalian bilang matinya kena bacok saya."[]

Minggu, 21 Januari 2018

Resensi: Penggerak Lahirnya Kesadaran Memperjuangkan Hak

Judul Buku: Germinal
Penulis: Emile Zola
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2016
Tebal Buku: 880 halaman
ISBN: 978-602-03-3533-9

Mengambil setting kota Prancis tahun 1860-an, Emile Zola menyoroti isu ketidakadilan yang terjadi di lingkungan pertambangan batu bara. Mengisahkan pekerja tambang yang  mempertaruhkan nyawa di setiap waktu, tetapi tidak pernah sebanding dengan upah yang diperoleh. Sungguh ironi, para penambang ini tetap bertahan dan menerima tanpa perlawanan apa-apa. Karena mereka pikir, hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa mengisi perut. Walau ujungnya tetap saja istri-istri mereka berutang lagi karena gaji yang didapat oleh suami dan anaknya tidak pernah cukup.

Mereka butuh perubahan! Baik pola pikir maupun perbaikan nasib. Tetapi siapa yang sanggup memulainya? Sedangkan para pekerja tambang bukan dari golongan berpendidikan. Tidak punya cukup keberanian dan kemampuan untuk memperjuangkan hak. Bahkan penambang tua bernama Bonnemort telah bekerja sejak usia belum genap 8 tahun. Di usianya yang mencapai 58, ia masih harus bekerja. Nasib itu pun diturunkan bak warisan pada putranya, Maheu, berikut cucu-cucunya. Akankah seperti itu terus? Turun-temurun menjadi pekerja tambang yang hidup selalu kekurangan?

Lalu harapan akan adanya perubahan itu muncul dengan hadirnya Etienne Lantier di tengah-tengah mereka. Ia memang bukan seorang berpendidikan, tetapi cukup cerdas untuk bisa melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata.

Penulis memulai semua kisah ini dengan lebih dulu menghadirkan Etienne. Tidak langsung sebagai seorang yang disegani, melainkan operator mesin rel kereta yang baru dipecat karena memukul bosnya. Satu hal yang mesti diingat mengenai Etienne, temperamennya berbahaya. Ia sudah seminggu terakhir hidup menggelandang mencari pekerjaan hingga akhirnya menemukan tambang batu bara Le Voreux.

Keberadaan Etienne tidak langsung diterima begitu saja di lingkungan penambang. Pria itu harus bertanya sana-sini pada bagian apa ia bisa bekerja. Sampai Maheu memutuskan untuk menempatkannya di bagian penarik gerobak. Karena penarik gerobak lama di kelompoknya baru meninggal (hal. 48-49).

Selanjutnya kesabaran Etienne benar-benar diuji. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia masuk ke kedalaman 500 meter lebih di bawah permukaan bumi. Dalam gelap yang pengap Etienne terbentur, tersandung berkali-kali hingga memar di kaki karena belum mengenal rute yang dilalui. Belum lagi untuk tugasnya sebagai penarik gerobak, pun butuh teknik khusus. Gerobak berisi batu bara dengan berat ratusan kilo itu mesti didorong menanjak. Ditambah jalur angkutan hanya berbentuk terowongan sempit dengan batu-batu bertonjolan di atasnya. Dalam kesulitan yang membuat muak, Etienne patut bersyukur karena gadis lincah bernama Catherine,  putri Maheu, mau mengajari.

Pada hari-hari berikutnya, perlahan tetapi pasti, Etienne mulai terbiasa dan mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan rutinitas yang semula terasa begitu berat (hal. 223). Lambat laun ia bisa menghirup debu batu bara tanpa sesak napas, ia sanggup melihat jelas meski dalam gelap. Rekan-rekan yang dulu sempat mengolok-ngolok, kini dibuat takjub dengan kecakapannya dalam bekerja. Dalam kurun waktu tiga minggu, ia disebut-sebut sebagai salah satu penarik gerobak terbaik di tambang itu (hal. 225-226).

Meski masih terhitung sebagai pekerja baru, Etienne bisa merasakan kegelisahan rekannya. Penderitaan,  kegeraman atas perlakuan bos yang seenaknya menurunkan upah. Padahal gaji sebelumnya saja sudah membuat mereka menderita. Ia jadi makin yakin dengan ide-ide di kepalanya. Walau begitu Etienne amat sadar akan pengetahuannya yang masih sedikit. Ia pun mulai membaca banyak buku, belajar banyak secara random. Pria itu juga telah berteman dan sering berdiskusi dengan mantan pekerja tambang yang memiliki gagasan yang sama dengannya.

Revolusi pun dimulai. Etienne berhasil membuat sejumlah orang memikirkan nasib, ketidakberuntungan mereka, lalu menular kepada yang lain. Dan gagasan akan pemogokan para pekerja tambang menjadi jalan yang dipilih. Langkah yang sangat berani karena konsekuensinya berdampak pada kelaparan massal berkepanjangan atau keadilan bagi semua.

Inilah persembahan masterpiece dari seorang Emile Zola. Sepadan dengan usaha riset penulis. Tak main-main, ia sampai terjun langsung ke lingkungan penambang dan hidup bersama-sama mereka.

Selain ketidakadilan dan pemogokan, Emile Zola juga menyematkan sindiran-sindirannya lewat gambaran kontras antara kehidupan si kaya dan si miskin, kurangnya pendidikan yang menjadikan manusia meniru sifat binatang, hingga popularitas yang melenakan.[]

(Pernah dimuat di harian Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2018)

Kamis, 11 Januari 2018

Resensi: Saatnya Intronspeksi Diri dalam Berbisnis

Judul Buku: Kembali ke Titik Nol
Penulis: Saptuari Sugiharto
Penerbit: Delta Saputra
Cetakan: Juli, 2016
Tebal Buku: 276 halaman
ISBN: 978-602-99999-9-0

SaIah satu hal yang menjadi tantangan bagi para pengusaha dalam menjalankan bisnisnya yakni menyeimbangkan antara ambisi dan keimanan. Meski bukan semua, tidak sedikit yang kadar imannya melemah akibat mengejar target. Inginnya dipandang sukses di mata sesama manusia. Segala macam cara dicoba entah kala itu Allah ridho atau tidak. Setelah sekian tahun terlena oleh pola bisnis yang dijalani, mendapat omzet besar tetapi di sisi lain utang malah makin tidak terkendali, barulah diri tersadar, "Saya sudah keliru. Saya telah menempuh jalan yang tidak diridhoi Allah."

Jalan keliru yang dimaksud adalah mengelola bisnis dengan modal berutang, dicicil beserta bunga yang berbunga. Sukar untuk dilunasi sehingga lambat laun melilit sekaligus mencekik si peminjam. Lebih dikenal dengan istilah riba. Sementara di dalam hukum Islam, ada larangan terhadap riba: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa" (QS. Al Baqarah 276). Dalam ayat lain QS. Al baqarah: 278-279 disebutkan bahwa: "Hai  orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.  Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."

Hadirnya buku ini bukan bertujuan untuk menghakimi,  namun lebih kepada mengajak berbisnis atau mencoba memulai kembali bisnis dengan cara-cara islami. Sebuah bisnis yang bisa dipertanggung-jawabkan di dunia maupun akhirat. Dilakoni dengan cara-cara bersih dan tentu hati menjadi lebih ringan dan tenang.

Mula-mula dengan memutuskan ikatan dari jerat utang riba yang diawali dengan taubat. Kembali pada Allah, memohon ampun dan bertekad melunasi utang serta meminta pertolongan-Nya. Memohon agar dimudahkan dalam menemukan solusi terbaik.

Buku ini telah merangkum banyak kisah inspirasi yang dapat menjadi pembelajaran bagi pembaca, terutama bagi yang sedang mengelola bisnis ataupun baru ingin memulainya. Di antaranya mengenai para pengusaha yang bertekad dan berjuang agar terbebas dari jeratan riba. Tentang mereka yang rela melepas aset-aset berharga dan memulai lagi dari nol demi mengejar keberkahan-Nya.

Meski aset-aset dan harta harus dijual, hingga dipandang bangkrut oleh tetangga, saudara, maupun teman. Yang penting tidak bangkrut di depan Allah. Rendah dalam pandangan manusia tidak apa-apa, asalkan kita mampu berdiri tegap di depan Allah karena patuh pada aturan-Nya (halaman 112). Ada pula kisah manusia-manusia tanpa utang.
Hidup tanpa utang, menghadirkan perasaan lega yang tak ternilai.

Merasa bebas karena tidak lagi memikirkan cicilan. Lebih fokus dalam berbisnis, bukan di utang (halaman 180-181).

Diuraikan dengan gaya bahasa yang segar, gaul, dan menggelora. Mengajak mawas diri sekaligus menggugah semangat. Sangat direkomendasikan bagi para pebisnis yang ingin introspeksi dalam berbisnis. Agar meluruskan kembali niat. Atau pola hidup yang mungkin masih perlu diperbaharui.[]

Resensi: Jiwa Kembar dalam Kasta Sosial Berbeda

Judul Buku: Kemolekan Landak
Penulis: Muriel Barbery
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Februari 2017
Tebal Buku: 364 halaman
ISBN: 978-602-03-3827-9

Sebuah novel filsafat. Yang alurnya berpusat pada pemikiran-pemikiran mendalam tokoh sentral di dalam cerita. Tak jarang menyajikan kalimat bernada sinis, tajam; sarkasme yang menggelitik. Namun di situlah letak daya pikatnya. Dan, landak, tentu bukan bagian dalam karya ini. Sebab ia merupakan bentuk kiasan dari seorang janda bernama Renee, sang tokoh utama. Wanita paruh baya yang bekerja sebagai penjaga gedung apartemen elit.

Ia memang memiliki pesona, keanggunan seekor landak: dari luar berperisai duri, benar-benar benteng, tapi di dalamnya ia juga sesederhana landak, hewan kecil yang secara keliru disangka acuh, liar, sendirian dan benar-benar molek (halaman 151).

Renee, memainkan perannya dengan sangat baik. Ia menciptakan kesan di mata orang-orang sebagai penjaga gedung pada umumnya: si tua yang jelek, judes, kurang berpendidikan, tetapi dapat diandalkan. Ia tidak menarik perhatian dan keberadaannya seolah tidak penting. Meski sebenarnya, andai mereka semua tahu, otaknya lebih cerdas ketimbang para penghuni apartemen dan punya selera bagus terhadap seni. Ia telah membaca banyak buku dari karya-karya sastra sampai dengan filsafat. Melahap tuntas karya Karl Marx, juga Anna Karenina karangan Leo Tolstoy hingga menamai kucingnya 'Leo'. Kebiasaan yang tanpa ingin orang lain tahu.

Melalui sudut pandang Renee, penulis  menampakkan kesenjangan yang terjadi antara kaum borjuis dan rakyat jelata di suatu wilayah di Prancis. Tepatnya di lingkungan gedung apartemen. Tentang bagaimana kaum kelas bawah memandang golongan kelas atas, pun sebaliknya. Bagi orang kaya, menurut Renee, rakyat kecil tampaknya  merasakan emosi manusia dengan intensitas yang lebih  lemah dan dengan rasa acuh lebih besar, karena tidak mempunyai oksigen uang serta keluwesan berteman.

Belum lagi dalam hal fisik. Terhadap yang cantik, orang memaafkan segalanya, bahkan tingkah-tingkah seronoknya. Sebaliknya, bagi yang kurang beruntung dalam tampilan tubuh, kecerdasan tidak pernah jadi kompensasi penyeimbang. Dan malah diperlakukan bagai mainan untuk mempertajam kontras. Yang buruk selalu menjadi tertuduh (halaman 39).

Selain Renee sebagai tokoh sentral, ada pula Paloma Josse, putri dari keluarga Josse (anggota parlemen yang sebentar lagi diangkat sebagai Ketua Dewan) yang juga tinggal di apartemen mewah itu. Gadis kecil eksentrik berumur 12 tahun yang berniat bunuh diri di usia 13 tahun demi melarikan diri dari masa depan borjuisnya. Kehidupan mendatang yang baginya telah bisa ditebak: terlahir dari keluarga kaya, orangtua kaya, dan sudah pasti ia pun akan kaya. Bukan hanya bunuh diri, ia bahkan berencana untuk membakar apartemen.

Segala keberuntungan dan kekayaan itu, ia tahu persis bahwa tujuan akhir hidupnya adalah akuarium (halaman 9). Hidup dalam kemewahan namun tak bisa membaur dengan alam. Bukan kehidupan macam itu yang ia harapkan.

Paloma bukannya bodoh, ia justru sangat cerdas. Namun seperti halnya Renee, ia sebisa mungkin berusaha mengurangi kemampuannya. Paloma tidak mau menarik perhatian karena dalam keluarganya tempat kecerdasan merupakan nilai tertinggi. Dan bagi anak yang  berbakat, ia tidak akan bisa santai.

Kemiripan ini, yang kemudian membuat Renee dan Paloma menyadari sesuatu kala mereka bertemu. Bahwa masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang tersimpan. Rahasia di balik kulit luar. Aura cerdas, begitu Paloma menyebutnya. Di sinilah, pertemuan dua manusia beda kasta, dengan jarak usia puluhan tahun, tetapi memiliki jiwa kembar. Dua jiwa yang saling menemukan, mendeteksi, untuk kemudian saling menyembuhkan.  Meski pada bagian penutup cerita, pembaca dihadapkan pada sesuatu yang mengejutkan. Tragedi yang mengguncang.[]

(Pernah dimuat di harian Singgalang, Minggu, 17 September 2017)

Resensi: Pejuang Kebebasan yang Menyerah untuk Menang

Judul Buku: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Diva Press
Cetakan: I, Mei 2017
Tebal Buku: 144 halaman
ISBN: 978-602-391-415-9

Nama Arafat Nur makin dikenal sejak bukunya berjudul Lampuki  memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2010. Tahun 2016 lalu, kembali ia mengukir prestasi dengan memenangkan sayembara serupa.

Masih tentang Aceh. Tanah kelahiran penulis yang memberi banyak pengalaman begitu membekas. Berhubungan dengan konflik di wilayah tersebut pada masa silam. Kali ini Arafat Nur kembali mengangkat tema senada, seperti karya sebelumnya yang ia susun berdasarkan sebuah catatan salah seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menariknya,  penulis menawarkan dua sudut pandang bagi pembaca dalam menikmati karyanya. Bisa dinikmati sebagai novel sejarah, atau sebuah novel romantis.

"Mati kena tembak adalah salah satu  jalan akhir dari banyak jalan akhir lain pada kehidupan ini. Meskipun begitu, secara tidak langsung, saat ini telah menjadi  pilihan yang dengan sadar sedang kami hampiri perlahan (halaman 13).

Inilah kisah sekelompok pejuang, tentang mereka yang bercanda dengan maut. Begitu akrab dengan aroma kematian. Tetapi tak satu pun dari mereka menganggap perang itu sungguh-sungguh.

Mereka berada jauh dari rumah meninggalkan keluarga tercinta. Tinggal di teratak pinggiran hutan yang terpisah dari pemukiman penduduk. Yakni markas berdinding kayu ala kadarnya yang sangat jauh dari rasa nyaman. Lantas apa yang mereka cari? Keadilan. Menuntut keadilan atas perang jahanam yang telah merenggut paksa suami dari istrinya, pun ayah dari anak-anaknya.

Adalah Asrul, tokoh utama dalan kisah ini. Terpaksa memilih jalan hidup yang sebenarnya tidak diinginkan. Menjadi bagian dari para gerilyawan untuk melawan tentara-tentara pemerintahan. Asrul dan kawan-kawan sesungguhnya bukanlah pengkhianat atau pemberontak yang dengan sengaja membuat onar. Mereka adalah kelompok penuntut kebebasan dan keadilan. Asrul sendiri turut bergabung karena hasutan orang-orang agar menuntut balas atas kematian bapaknya dulu yang mati kena tembak. Padahal beliau hanya petani biasa.

Kala itu pasukan tentara tengah memburu gerilyawan yang lari ke kebun keluarga Asrul. Mereka marah karena gagal menangkap sang gerilyawan. Rupanya seorang prajurit telah terbunuh dan senjatanya dibawa kabur. Tentara melampiaskan amarah dengan menembaki Bapak Asrul secara membabi-buta. Menuduh beliau sebagai pemberontak (halaman 73). Di lain kasus, salah seorang pemilik kedai meregang nyawa di tangan tentara karena menolak memberi uang yang katanya guna operasi bela negara. Mati mengerikan dengan tubuh penuh cabikan peluru dan sayatan senjata tajam.

Waktu terus bergulir, hingga di suatu waktu markas Asrul dan kawan-kawan terkepung. Dua sahabat karibnya tewas. Ada pun Asrul sedang tidak di sana karena ia pulang setelah tiga tahun tinggal di hutan. Kawannya yang mengabari lewat telepon genggam. Asrul tak punya pilihan selain melarikan diri karena orang-orang yang telah diringkus pasti ada yang berkhianat dan memberitahu keberadaannya. Ia pun minggat ke kota lain. Luntang-lantung, bahkan menjadi gelandangan.

Setelah berhari-hari tidak punya tempat tinggal dan makan bekas sisa orang, ia ditemukan oleh Putri. Gadis kenalannya saat singgah sebentar ke meunasah di kota kecil Krueng Geukuh beberapa waktu lalu. Pertemuan yang jauh dari romantis, di depan jamban. Saat itu, di perjumpaan pertama, Putri meminta tolong pada Asrul untuk menyisir rambutnya. Aneh memang, ada seorang gadis jelita tetapi tidak pernah bisa menyisir sendiri rambut panjangnya. Kehadiran Putri dalam hidup Asrul, yang kemudian membuatnya berbalik pikir. Apa guna perang yang tak berujung ini? Menjadi pembunuh yang sewaktu-waktu bisa terbunuh. Ia ingin hidup normal. Asrul mungkin dianggap kalah bila ia menyerah, tetapi sejatinya ia menjadi pemenang kehidupan. Terbebas dari misi pembalasan dendam, dan leluasa menjaga orang-orang tercinta.

Membaca karya ini, menimbulkan ketegangan tak biasa karena penulis sesekali menyelinginya dengan lelucon, bahkan di area perang pun masih terselip canda gurau. Ada salah satu bagian yang menyentuh, yaitu pertemuan menggetarkan antara ibu dan Asrul. Betapa tidak, bertahun-tahun anak beranak terpisah. Hidup atau matinya entah.

Sebuah novel sejarah kontemporer yang digarap dengan apik dan berkesan. Alur berjalan alami dan menyentuh. Memuat pembelajaran bahwa hidup memang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Paksakan egomu meski harus mengorbankan banyak hal, atau kembali menata hidup di sisi orang-orang tersayang. Buku yang penting untuk dibaca dan direnungi.[]

(Pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu, 29 Oktober 2017)