Kamis, 22 September 2016

Resensi: Kabut dalam Dunia Anak-Anak

Judul: Alona Ingin Menjadi Serangga
Penulis: Mashdar Zainal
Penerbit: Unsa Press
Cetakan: 1, November 2015
Tebal: 155 halaman
ISBN: 978-602-711-765-5
Peresensi: Leli Erwinda

Dunia anak adalah masa pengenalan terhadap hal-hal baru. Tahap lahirnya rasa keingintahuan yang besar, senang bermain, hingga daya berpikir yang mengejutkan. Sukar ditebak. Butuh kepekaan dan kesabaran agar orang dewasa bisa turut masuk lalu menyelami dunia mereka.

Pengalaman mengajar di sekolah dasar, serta ingatan yang lekat semasa masih anak-anak, inilah yang akhirnya menginspirasi penulis dalam menggarap karyanya.

Kehadiran buku kumpulan cerpen yang sebelumnya pernah dimuat di berbagai media massa ini, cukup bisa mewakili karakter, pola pikir, juga emosional anak-anak dalam bingkai fiksi.

Diawali dengan cerpen Alona Ingin Menjadi Serangga. Kisah tentang Alona yang dihukum tidak boleh masuk rumah oleh ibunya karena pulang terlambat. Sang ibu yang keras dan pelupa tidak menyadari kalau putrinya masih berada di luar rumah. Padahal, malam itu begitu dingin karena hujan kembali turun. 

Kala itu Alona kedinginan, kelaparan, bahkan kesepian, hingga ingin sekali menjelma menjadi serangga. Hewan yang ia temui, yang nampak saling menyayangi satu sama lain seperti kasih sayang antar ibu dan anaknya. Tapi di mata Alona, mamanya tidak pernah bisa sesayang itu (halaman 1). Sosok ibu muda yang keras serta lalai akan perannya sebagai orang tua, adalah gambaran ironi yang bisa terjadi di mana saja.

Berikutnya cerpen berjudul Laron. Menceritakan tentang anak keterbelakangan mental yang diperlakukan kasar oleh bapaknya. Sang bapak marah besar begitu mengetahui putranya bermain-main dengan laron. Hingga rempeyek laron yang disantap bapaknya ke esokkan hari menyisakan tragedi. Sungguh disayangkan ketika anak berkebutuhan khusus justru menjadi sasaran amarah dan diperlakukan tidak layak oleh orang tuanya.

Masih bersinggungan dengan anak-anak dan hewan, cerpen Ulat Bulu dan Kupu-Kupu juga memberi kesan tersendiri. Berawal dari pekarangan pasangan suami-istri beranak satu yang diserang wabah ulat bulu. Istrinya sampai menjerit melihat putranya bermain-main dengan hewan melata.

Namun siapa sangka, wabah hewan yang dianggap menjijikan itu justru menjadi sumber keindahan di pekarangan mereka. Di taman bunga sang istri, puluhan, ratusan, bahkan ribuan kupu-kupu  menari riang mengelilingi bunga-bunga (halaman 32).

Dalam Kamar Mandi  menghadirkan sisi terpolos anak-anak. Ketakutan, ketidaktahuan, kesedihan, keragu-raguan beradu satu hingga menjadikan cerpen ini layak diselami. Kisah tentang gadis kecil yang buang air besar di celana kemudian mengurung diri di kamar mandi sekolah karena takut diejek teman-temannya. Juga ketakutan akan  amarah  mama kalau sampai mengetahui kecerobohannya.

Ia tidak tahu cara mencuci karena mamanya tidak pernah mengajari. Tapi ia sedikit ingat bagaimana Bik Sari mencuci. Satu per satu pakaiannya dimasukkan ke dalam bak mandi. Tapi air keran malah mati, dan ia terkejut bukan main saat melihat air di bak mandi berubah keruh dan bau (halaman 36).

Selanjutnya cerpen berjudul Eufoni Samawi. Cerpen yang dikemas dengan diksi paling manis dibanding lainnya. Menceritakan tentang gadis penjual tahu yang akan menghadiahimu sebuah lagu yang indah andai kau bersedia membeli tahu buatan mamaknya.

Suara gadis itu terlampau lembut, selembut sutera firdaus yang berkibar dihembus angin. Terkadang liukan suaranya meninggi, membuncah seperti seruling Daud di tengah malam (halaman 101).

Judul-judul lain yang tak kalah menarik yakni: Mariposa, Kampung Lapar, Dekapan Sunyi Ayah, Hikayat Sebatang Pohon Asam, Dunia Danar. Ada pula Pasar Malam, Uban, Katastrofa, dan Petani Dongeng.

Setiap cerita di dalamnya memiliki kekhasan yang sama yakni gaya bercerita yang tenang dan mendalam. Hingga meninggalkan kesan yang kuat di benak pembaca. []

(Pernah dimuat di Kabar Madura, 15 September 2016)