Kamis, 11 Januari 2018

Resensi: Jiwa Kembar dalam Kasta Sosial Berbeda

Judul Buku: Kemolekan Landak
Penulis: Muriel Barbery
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Februari 2017
Tebal Buku: 364 halaman
ISBN: 978-602-03-3827-9

Sebuah novel filsafat. Yang alurnya berpusat pada pemikiran-pemikiran mendalam tokoh sentral di dalam cerita. Tak jarang menyajikan kalimat bernada sinis, tajam; sarkasme yang menggelitik. Namun di situlah letak daya pikatnya. Dan, landak, tentu bukan bagian dalam karya ini. Sebab ia merupakan bentuk kiasan dari seorang janda bernama Renee, sang tokoh utama. Wanita paruh baya yang bekerja sebagai penjaga gedung apartemen elit.

Ia memang memiliki pesona, keanggunan seekor landak: dari luar berperisai duri, benar-benar benteng, tapi di dalamnya ia juga sesederhana landak, hewan kecil yang secara keliru disangka acuh, liar, sendirian dan benar-benar molek (halaman 151).

Renee, memainkan perannya dengan sangat baik. Ia menciptakan kesan di mata orang-orang sebagai penjaga gedung pada umumnya: si tua yang jelek, judes, kurang berpendidikan, tetapi dapat diandalkan. Ia tidak menarik perhatian dan keberadaannya seolah tidak penting. Meski sebenarnya, andai mereka semua tahu, otaknya lebih cerdas ketimbang para penghuni apartemen dan punya selera bagus terhadap seni. Ia telah membaca banyak buku dari karya-karya sastra sampai dengan filsafat. Melahap tuntas karya Karl Marx, juga Anna Karenina karangan Leo Tolstoy hingga menamai kucingnya 'Leo'. Kebiasaan yang tanpa ingin orang lain tahu.

Melalui sudut pandang Renee, penulis  menampakkan kesenjangan yang terjadi antara kaum borjuis dan rakyat jelata di suatu wilayah di Prancis. Tepatnya di lingkungan gedung apartemen. Tentang bagaimana kaum kelas bawah memandang golongan kelas atas, pun sebaliknya. Bagi orang kaya, menurut Renee, rakyat kecil tampaknya  merasakan emosi manusia dengan intensitas yang lebih  lemah dan dengan rasa acuh lebih besar, karena tidak mempunyai oksigen uang serta keluwesan berteman.

Belum lagi dalam hal fisik. Terhadap yang cantik, orang memaafkan segalanya, bahkan tingkah-tingkah seronoknya. Sebaliknya, bagi yang kurang beruntung dalam tampilan tubuh, kecerdasan tidak pernah jadi kompensasi penyeimbang. Dan malah diperlakukan bagai mainan untuk mempertajam kontras. Yang buruk selalu menjadi tertuduh (halaman 39).

Selain Renee sebagai tokoh sentral, ada pula Paloma Josse, putri dari keluarga Josse (anggota parlemen yang sebentar lagi diangkat sebagai Ketua Dewan) yang juga tinggal di apartemen mewah itu. Gadis kecil eksentrik berumur 12 tahun yang berniat bunuh diri di usia 13 tahun demi melarikan diri dari masa depan borjuisnya. Kehidupan mendatang yang baginya telah bisa ditebak: terlahir dari keluarga kaya, orangtua kaya, dan sudah pasti ia pun akan kaya. Bukan hanya bunuh diri, ia bahkan berencana untuk membakar apartemen.

Segala keberuntungan dan kekayaan itu, ia tahu persis bahwa tujuan akhir hidupnya adalah akuarium (halaman 9). Hidup dalam kemewahan namun tak bisa membaur dengan alam. Bukan kehidupan macam itu yang ia harapkan.

Paloma bukannya bodoh, ia justru sangat cerdas. Namun seperti halnya Renee, ia sebisa mungkin berusaha mengurangi kemampuannya. Paloma tidak mau menarik perhatian karena dalam keluarganya tempat kecerdasan merupakan nilai tertinggi. Dan bagi anak yang  berbakat, ia tidak akan bisa santai.

Kemiripan ini, yang kemudian membuat Renee dan Paloma menyadari sesuatu kala mereka bertemu. Bahwa masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang tersimpan. Rahasia di balik kulit luar. Aura cerdas, begitu Paloma menyebutnya. Di sinilah, pertemuan dua manusia beda kasta, dengan jarak usia puluhan tahun, tetapi memiliki jiwa kembar. Dua jiwa yang saling menemukan, mendeteksi, untuk kemudian saling menyembuhkan.  Meski pada bagian penutup cerita, pembaca dihadapkan pada sesuatu yang mengejutkan. Tragedi yang mengguncang.[]

(Pernah dimuat di harian Singgalang, Minggu, 17 September 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^