Minggu, 21 Januari 2018

Resensi: Penggerak Lahirnya Kesadaran Memperjuangkan Hak

Judul Buku: Germinal
Penulis: Emile Zola
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2016
Tebal Buku: 880 halaman
ISBN: 978-602-03-3533-9

Mengambil setting kota Prancis tahun 1860-an, Emile Zola menyoroti isu ketidakadilan yang terjadi di lingkungan pertambangan batu bara. Mengisahkan pekerja tambang yang  mempertaruhkan nyawa di setiap waktu, tetapi tidak pernah sebanding dengan upah yang diperoleh. Sungguh ironi, para penambang ini tetap bertahan dan menerima tanpa perlawanan apa-apa. Karena mereka pikir, hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa mengisi perut. Walau ujungnya tetap saja istri-istri mereka berutang lagi karena gaji yang didapat oleh suami dan anaknya tidak pernah cukup.

Mereka butuh perubahan! Baik pola pikir maupun perbaikan nasib. Tetapi siapa yang sanggup memulainya? Sedangkan para pekerja tambang bukan dari golongan berpendidikan. Tidak punya cukup keberanian dan kemampuan untuk memperjuangkan hak. Bahkan penambang tua bernama Bonnemort telah bekerja sejak usia belum genap 8 tahun. Di usianya yang mencapai 58, ia masih harus bekerja. Nasib itu pun diturunkan bak warisan pada putranya, Maheu, berikut cucu-cucunya. Akankah seperti itu terus? Turun-temurun menjadi pekerja tambang yang hidup selalu kekurangan?

Lalu harapan akan adanya perubahan itu muncul dengan hadirnya Etienne Lantier di tengah-tengah mereka. Ia memang bukan seorang berpendidikan, tetapi cukup cerdas untuk bisa melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata.

Penulis memulai semua kisah ini dengan lebih dulu menghadirkan Etienne. Tidak langsung sebagai seorang yang disegani, melainkan operator mesin rel kereta yang baru dipecat karena memukul bosnya. Satu hal yang mesti diingat mengenai Etienne, temperamennya berbahaya. Ia sudah seminggu terakhir hidup menggelandang mencari pekerjaan hingga akhirnya menemukan tambang batu bara Le Voreux.

Keberadaan Etienne tidak langsung diterima begitu saja di lingkungan penambang. Pria itu harus bertanya sana-sini pada bagian apa ia bisa bekerja. Sampai Maheu memutuskan untuk menempatkannya di bagian penarik gerobak. Karena penarik gerobak lama di kelompoknya baru meninggal (hal. 48-49).

Selanjutnya kesabaran Etienne benar-benar diuji. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia masuk ke kedalaman 500 meter lebih di bawah permukaan bumi. Dalam gelap yang pengap Etienne terbentur, tersandung berkali-kali hingga memar di kaki karena belum mengenal rute yang dilalui. Belum lagi untuk tugasnya sebagai penarik gerobak, pun butuh teknik khusus. Gerobak berisi batu bara dengan berat ratusan kilo itu mesti didorong menanjak. Ditambah jalur angkutan hanya berbentuk terowongan sempit dengan batu-batu bertonjolan di atasnya. Dalam kesulitan yang membuat muak, Etienne patut bersyukur karena gadis lincah bernama Catherine,  putri Maheu, mau mengajari.

Pada hari-hari berikutnya, perlahan tetapi pasti, Etienne mulai terbiasa dan mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan rutinitas yang semula terasa begitu berat (hal. 223). Lambat laun ia bisa menghirup debu batu bara tanpa sesak napas, ia sanggup melihat jelas meski dalam gelap. Rekan-rekan yang dulu sempat mengolok-ngolok, kini dibuat takjub dengan kecakapannya dalam bekerja. Dalam kurun waktu tiga minggu, ia disebut-sebut sebagai salah satu penarik gerobak terbaik di tambang itu (hal. 225-226).

Meski masih terhitung sebagai pekerja baru, Etienne bisa merasakan kegelisahan rekannya. Penderitaan,  kegeraman atas perlakuan bos yang seenaknya menurunkan upah. Padahal gaji sebelumnya saja sudah membuat mereka menderita. Ia jadi makin yakin dengan ide-ide di kepalanya. Walau begitu Etienne amat sadar akan pengetahuannya yang masih sedikit. Ia pun mulai membaca banyak buku, belajar banyak secara random. Pria itu juga telah berteman dan sering berdiskusi dengan mantan pekerja tambang yang memiliki gagasan yang sama dengannya.

Revolusi pun dimulai. Etienne berhasil membuat sejumlah orang memikirkan nasib, ketidakberuntungan mereka, lalu menular kepada yang lain. Dan gagasan akan pemogokan para pekerja tambang menjadi jalan yang dipilih. Langkah yang sangat berani karena konsekuensinya berdampak pada kelaparan massal berkepanjangan atau keadilan bagi semua.

Inilah persembahan masterpiece dari seorang Emile Zola. Sepadan dengan usaha riset penulis. Tak main-main, ia sampai terjun langsung ke lingkungan penambang dan hidup bersama-sama mereka.

Selain ketidakadilan dan pemogokan, Emile Zola juga menyematkan sindiran-sindirannya lewat gambaran kontras antara kehidupan si kaya dan si miskin, kurangnya pendidikan yang menjadikan manusia meniru sifat binatang, hingga popularitas yang melenakan.[]

(Pernah dimuat di harian Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^