Kamis, 18 Mei 2017

Resensi: Belajar dari Para Miliarder dalam Melejitkan Produktivitas

Judul: 77 Mantra Meningkatkan Produktivitas Diri Ala Miliarder 
Penulis: Erlita Pratiwi
Penerbit: Grasindo
Cetakan: I, Juni 2016
Tebal Buku: 336 halaman
ISBN: 9786023755233

Produktivitas sebagai bagian dari kualitas diri. Yakni kemampuan dalam meraup hasil dari apa yang diusahakan hingga mencapai target. Bukan sebanyak apa yang bisa dikerjakan, tetapi keefektifan dalam bertindak yang mengacu pada hasil maksimal. Bicara mengenai produktivitas, ada banyak kebiasaan yang bisa ditiru dari para miliarder dunia dalam "77 Mantra Meningkatkan Produktivitas Diri Ala Miliarder". Akan ditemukan pula beragam tips dan cara penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan buku, untuk bisa produktif jam kerja harus benar-benar digunakan untuk bekerja. Agar waktu tidak terbuang sia-sia dan semua pekerjaan bisa selesai dengan baik. Boleh saja berleha-leha namun tentunya dilakukan setelah tugas usai (halaman 10). Artinya, kedisiplinan dalam pengaturan waktu sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Semakin disiplin, makin baik pula hasilnya.

Dalam bidang apa pun, tutur penulis, disiplin waktu merupakan modal utama bila ingin produktif. Maka buatlah jadwal kegiatan dan laksanakan dengan penuh disiplin. Dengan begitu, tidak ada waktu yang terbuang percuma. Ini rahasia utama kesuksesan Oprah Winfrey, wanita pertama yang memiliki talk show  sendiri hingga dinobatkan sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di abad 20 oleh Majalah  Time. Tidak hanya sampai di situ, setelahnya Oprah Winfrey juga memproduksi mini seri televisi dan menerbitkan dua majalah. Berkat usahanya, ia pun berhasil menempati posisi sebagai wanita pertama Amerika-Afrika yang menjadi miliarder (halaman 42-43).

Tetapkan satu waktu untuk satu pekerjaan. Tuntaskan satu, lalu berlanjut ke pekerjaan lainnya secara tertahap. Agar fokus lebih terjaga karena pikiran tidak bercabang-cabang. Ini penting untuk diterapkan bila ingin meniru kebiasaan Steve Jobs, yang semasa hidupnya sempat menjabat sebagai CEO Apple dan dikenal dengan produk unggulan rancangannya: iPhone.

Menurut Steve Jobs, multitasking justru membunuh produktivitas. Karena dengan melakukan banyak hal secara bersamaan, seseorang tidak dapat memberikan perhatian yang dibutuhkan pada semua hal. Itu berdampak pada kualitas pekerjaan (halaman 120). Multitasking baru akan berhasil bila kedua pekerjaan menggunakan bagian otak yang berbeda. Misalnya membaca sambil mendengarkan musik instrumental.

Tips berikutnya yang bisa dijadikan alternatif datang dari Fred Mouawad, yaitu dengan membuat skala prioritas tentang kepentingan pekerjaan dan kepentingan pribadi. Pola hidup seimbang ini membuatnya lebih produktif karena ia bisa mengurus perusahaan tanpa kehilangan quality time  bersama keluarga. Fred Mouawad berhasil memiliki kekayaan US$ 1,1 miliar dan pernah dinobatkan sebagai kolektor berlian termahal dunia.

Miliarder lain yakni Will Smith, aktor asal Amerika peraih Academy Award dan Grammy Award yang sukses di bidang film, televisi, dan industri musik Amerika menuturkan, "Jangan katakan kepada diri sendiri bahwa Anda akan membuat dinding terbesar yang pernah dibuat. Letakkan satu bata pada suatu waktu sesempurna mungkin. Lakukan itu setiap hari, dan segera Anda akan memiliki dinding."
Maksudnya, jangan terpaku untuk menjadi seseorang yang hebat, tetapi fokuslah untuk berbuat yang terbaik hingga suatu saat nanti Anda menjadi hebat (halaman 208).

Ubah cara pandang terhadap kesuksesan agar tidak terlalu terpuruk bila gagal. Lakukan saja pekerjaan secara benar, maksimal, dan penuh rasa tanggung jawab maka kelak kesuksesan akan berada dalam genggaman.

Dari 77 mantra yang terangkum di dalam buku ini, hal terpenting yang mesti dilakukan adalah niat dan upaya untuk memulai. Setelahnya tingkatkan sistem kerja dengan terus mengasah kemampuan secara berkesinambungan. Cari dan serap lebih banyak lagi pengetahuan yang berhubungan dengan bidang yang dijalani.[]

(Pernah dimuat di Koran Jakarta, 8 November 2016)

Selasa, 16 Mei 2017

Resensi: Investigasi terhadap Fenomena Supranatural


Judul Buku: The Haunting of Hill House
Penulis: Shirley Jackson
Penerbit: Qanita, Mizan Group
Cetakan: I, Januari 2017
Tebal Buku: 376 halaman
ISBN: 978-602-402-056-9

Pada umumnya, kisah horor biasa disuguhkan dengan latar suasana mencekam, disertai kemunculan makhluk halus yang digambarkan sebagai sosok menyeramkan.

Namun berbeda dengan novel karangan Shirley Jackson ini. Salah satu karya horor terbaik di abad 20-an, yang telah menginspirasi banyak penulis besar seperti Stephen King, justru menyajikan kisah hantu-hantu tak kasatmata. Sisi horor pendukungnya terletak pada bangunan yang entah sengaja atau tidak, dirancang sedemikian ganjil. Serta daftar tragedi yang cukup panjang terhubung dengannya.

Rumah tanpa kebaikan, tak pernah dimaksudkan untuk ditinggali, tidak sesuai untuk manusia, untuk cinta atau membawa suatu harapan (halaman 53-54).

Hill House, begitu orang-orang menyebutnya. Merupakan rumah yang dibangun di area perbukitan, terpencil, jauh dari keramaian. Tempat yang semestinya menjadi pengayom, memberi ketenangan bagi semua penghuni, justru menjadi awal dari keputusasaan. Telah banyak kejadian tak menyenangkan yang terjadi di sana. Dr. Montague, seorang doktor ilmu filsafat justru tertarik pada rumor-rumor mengerikan mengenai Hill House guna melakukan penelitian tentang aktivitas supernatural.

Ia memutuskan menyewa Hill House untuk tiga bulan, sepanjang musim panas. Ditemani tiga orang asisten: Eleanor, Theodora, dan Luke yang bahkan tidak tahu untuk alasan apa mereka harus berada di tempat itu.

Setelah menjelaskan tujuannya mengundang ketiga orang itu, Dr. Montague mulai menceritakan sejarah Hill House. Ia menjelaskan, bahwa rumah itu dibangun sekitar delapan puluh tahun silam oleh pria bernama Hugh Crain untuk keluarganya. Ia berharap kelak bisa menjalani hari tua bersama anak-cucu dalam kemewahan yang nyaman dan tenang. Malangnya, kereta kuda yang membawa istri Hugh Crain ke tempat itu terguling di jalan masuk. Sang istri meninggal di tempat, kemudian dibawa ke rumah yang didirikan sang suami untuknya. Rumah yang bahkan belum sempat ia lihat (halaman 113).

Pria malang itu ditinggal mati sang istri dengan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil. Hugh Crain sempat menikah lagi dan kembali ia harus merasakan kegetiran yang sama. Istri kedua meninggal karena terjatuh, sedangkan istri ketiga meninggal karena penyakit paru. Hugh meninggal dunia tak lama setelah istrinya tiada, dan Hill House menjadi rebutan kedua putrinya.

Si bungsu menikah, dan konon membuat putri pertama patah hati lalu memutuskan hidup sendirian di Hill House. Setelah beberapa tahun berada dalam pengasingan, ia mengajak seorang gadis desa untuk tinggal bersama sebagai pendamping. Meski begitu, kedua kakak beradik itu masih terus bertengkar mengenai rumah ini. Hingga di suatu hari, sang kakak meninggal dunia akibat penyakit pneumonia (halaman 116-117).

Gadis pendamping berkeras bahwa rumah itu diwariskan untuknya, tapi adik dan suaminya bersikukuh bahwa rumah itu secara sah milik mereka dan menuduh si pendamping telah memperdaya kakaknya. Tidak hanya sampai di situ, ia terus melontarkan tudingan kejam, surat-surat berisi ancaman, kampanye kebencian yang membuat warga desa jatuh iba padanya dan sebaliknya, mengucilkan gadis pendamping. Hingga gadis malang itu tak tahan lagi dan memutuskan bunuh diri. Ia menggantung diri di bagian kubah menara Hill House.

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa Hill House bukan hanya dikenal dengan sejarah tragedinya, namun gaya konstruksi bangunan yang memang tidak lazim.  Salah satunya, pintu-pintu yang selalu tertutup dengan sendirinya meski telah dibuka lebar-lebar dan diganjal. Ada pula satu ruangan yang di ambang pintunya memiliki titik dingin, yang apabila dilalui seperti melewati dinding es tak kasatmata.

Selama di sanalah, gangguan demi gangguan terus dirasakan oleh Dr. Montague beserta ketiga asistennya. Mulai dari suara langkah kaki di koridor, hawa dingin yang menggigit, coretan darah pada dinding, ketukan-ketukan di pintu dan kenop yang diputar, suara cekikikan, juga bisikan-bisikan. Ketika keadaan mulai di luar kendali, Dr. Montague dituntut untuk bertindak cepat bila tidak ingin korban nyawa berjatuhan.

Yang menarik dari novel ini, adalah cara penulis dalam mendeskripsikan arsitektur bangunan yang ganjil secara terperinci. Ditambah aktivitas makhluk gaib tak berwujud, yang mengundang rasa ingin tahu sekaligus membuat ngeri.
Tidak berlebihan. Komposisi yang pas untuk sebuah novel horor. Belum lagi akhir cerita yang tak diduga-duga.[]

(Pernah dimuat di koran Radar Sampit edisi 14 Mei 2017)