Kamis, 16 Mei 2013

Lomba Menulis Cerpen DL 3 Juni 2013

Selamat siang sahabat cerpen,alhamdulillah kali ini saya admin Kishi ingin berbagisedikit kesenangan. Kali ini aku ingin mengadakan lomba menulis cerpen. Untuk syaratnya bisa di simak ya! :
  1. Lomba terbuka untuk umum, mulai tanggal 3 Mei 2013 s.d 3 Juni 2013 (pukul 23:59 WIB).
  2. Membagikan info lomba ini ke minimal 25 teman di jejaring sosial facebook, twitter atau posting di blog pribadi (pilih salah satu).
  3. Jangan lupa untuk tag ke akun saya juga ya! https://www.facebook.com/kishi.putri?ref=tn_tnmn
  4. Tema lomba: “CERMIN” .
  5. Naskah dalam bentuk Word dengan format file Ms Word 2003, kertas ukuran A4, font TNR 12pt, spasi 1.5,margin rata-rata 3 cm (1,18 inci) untuk setiap sisi dan dengan panjang cerita minimal 8 - 10 halaman.
  6. Naskah merupakan karya asli penulis dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk buku.
  7. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirim 1 naskah terbaiknya, lengkap dengan biodata narasi, maksimal 30 kata.
  8. Naskah yang telah memenuhi ketentuan di atas, dikirim ke email: kishiaprilia@gmail.com (berupa attachmant, bukan di badan email),  dengan subyek email: CERMIN_JUDUL NASKAH_NAMA PENULIS dan nama file sesuai dengan nama penulis.

Untuk hadiah :

PEMENANG PERTAMA : Pulsa sebesar Rp. 50.000
PEMENANG KEDUA     : Pulsa sebesar Rp. 20.000
PEMENANG KETIGA    : Pulsa sebesar Rp. 10.000

Ayok menulis lagi! :)

http://kishiaprilia.blogspot.com/2013/04/lomba-menulis-cerpen.html


Jumat, 03 Mei 2013

Solusi, ada pada Diri

Semangat pasang surut. Hmm, lagu lama. Adakalanya aku begitu bersemangat, ada saatnya pula aku terpuruk. Adakah orang mengetahui perkara itu? Tidak ada. Hanya Dia Yang MahaTahu.

Aku sering memotivasi, menasehati dan menyulut semangat orang lain, hingga ada yang menyangka kalau orang yang penuh dengan semangat di usia muda. Padahal, tidak juga.

Senang bila ada yang terpacu karena omonganku yang sok bijak. Sedih bila mendengar orang lain mengeluh karena terkurung dalam penjara 'takut gagal'. Hei, kawan. Aku juga butuh penyemangat, jadi jangan keluhkan sesuatu secara berlebihan. Aku takut tertular. Kalau ingin menularkan sesuatu, cukup hal-hal yang berdampak positif saja.

Bukan. Bukan maksudku tak mau mendengarkan. Karena kurasa, kalian bisa mencari solusi itu sendiri. Persoalan kalian, bukan tentang hubungan diri sendiri dengan orang lain, tapi pergulatan dengan diri sendiri.

Aku tak suka curhat. Aku lebih suka diam, menyendiri, dan mencari solusi hidupku sendiri. Yang kadang membuat kepala ini mendadak pusing.

Dan lagi. Kucoba merefresh otak dengan menulis cerita, dan menuangkan kegalauanku di situ. Cukup membantu.

Untuk siapa pun, ayolah. Jangan hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Tulis saja kisah-kisah menyedihkan kalian dalam sebuah karya. Rangkai dengan kata-kata yang santai namun mengena di hati. Belajar untuk mencari solusi sendiri agar orang lain yang bernasip sama dengan kalian, dan secara tak sengaja membaca tulisan kalian, bisa turut bangkit.

Yuk, luweskan jemari. Ungkap kisah-kisah misteri yang terselebung dan mengendap dalam memori, agar bisa menjadi pembelaajaran di kemudian hari.


Sumber gambar ada di sini


Salah


Detak  jarum jam terus bergulir, tak kan bisa dihentikan, diulang, atau bahkan diubah. Tak peduli pada manusia-manusia yang berjalan di tempat atau pada mereka yang telanjur salah mengambil sikap. Terus dan terus saja berputar, meski keluhan demi keluhan acapkali menjurus padanya.

“Andai aku bisa mengulang waktu dan mengubah segala apa yang terjadi kemarin. Tentu pikiranku tak kan serumit ini.” Felia mengembuskan napas panjang. Ada lirik sesal yang bergelayut manja dalam otaknya.

Kemarin, saat berpapasan di laboratorium sekolah. Felia menghalangi langkah Ken. Ken sontak terkejut dan menatap aneh gadis lancang itu. Alis tebalnya saling bertaut namun bibirnya masih terkatup.

“Aku menyukaimu,”

Hening beberapa detik,

“Lalu? Apa peduliku?” tanya Ken, datar. Ia seolah tak cukup peduli dengan apa yang baru saja di dengar.

“Begitukah jawaban yang kudapat? Aku menyukaimu, sungguh. Kau … kau juga menyukaiku, bukan? 

Kalau tidak, mana mungkin kau mengirim puisi cinta ke ponselku?” Felia mengarahkan ponselnya ke wajah 

Ken. Di situ, memang tertera jelas bahwa si pengirim mengaku sebagai Ken.

“Dan kau dengan bodohnya percaya. Itu bukan nomorku.” tegas Ken.

“Eh?”                           

“Benar.  Sini, biar kutunjukkan siapa pelakunya.”

Ken meraih ponsel Felia, memijit tombol-tombol tertentu dan terakhir menekan tombol hijau. Matanya mulai menyapu pemandangan sekitar.

"Yap, ketemu."

Ken mengisyaratkan Felia untuk mengalihkan pandangan ke pojok kiri lapangan. Seorang pemuda dengan pakaian lusuh dan bertopi hitam pudar, tengah memandangi layar poselnya, sementara lengan kirinya mengapit sapu ijuk.

“Dia … dia pelakunya.” tuding Ken, mantap.

“Tidak mungkin. Ini mustahil.” elak Felia. Menggeleng cepat.

Ken menggamit bahu Felia. Menatapnya lekat-lekat. Dan melempar senyum iba namun sarat pesona.

“Dengar. Bukan maksudku mengabaikan rasamu. Tapi sungguh, aku tak pernah mengirim pesan sekonyol itu. Dan tentang perasaanmu padaku, percayalah, itu hanya buih. Yang sewaktu-waktu dapat melenyap. Tanda sisa, tanpa arti. Paham?” Ken menggeser Felia dari hadapannya agar menepi.

Kemudian melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Gadis itu merasa tertohok. Ciut. Malu bukan main.

“Apa ini? Aku, aku ditolak? Memalukan,” desisnya. Ia merasa malu, merasa rendah diri. Hancur nian hatinya kala itu. Ia tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.

Felia menelepon ulang nomor tadi, namun dengan kartu SIM lain. Ingin coba memastikan sekali lagi, apakah benar Bayu si anak penjaga sekolah yang sudah mempermainkannya.

“Halo?” sapa pemuda di pinggir lapangan.

 Deg.

Napasnya kembali terasa sesak. Percuma memungkiri kenyataan ini. Sebab semua telah terbukti.
Ken. Kenapa bisa aku begitu meyakini bahwa kau yang mengirim pesan itu? Kita sudah jelas beda kasta. Kau keturunan bangsawan, aku hanya rakyat jelata. Kau seseorang yang dipuja-puja, sementara aku dari kaum pemuja. Kau ibarat berlian. Meski berada di antara butir-butir debu, sinarmu kan tetap terpancar. Dan orang-orang akan dengan mudah mengenalimu. Ya, itulah dirimu. Yang selalu menjadi pusat perhatian banyak orang. Lain halnya denganku, aku hanyalah debu. Yang akan dengan mudahnya diinjak, ditiup, dan terasingkan. Ratapnya, getir.

-End-

Akhir Penantian


Kurasa ini tak akan ada akhirnya. Sebuah penantian usang namun masih juga kekal dalam ingatan seorang gadis belia setengah gila. Apalagi kalau bukan perkara cinta. Sebuah rasa yang acapkali membuat pemiliknya terlupa. Bahwa apa yang dirasa, tak selalu harus kembali dengan bentuk yang serupa. 

Pengharapan. Mendamba sebuah timbal-balik atas apa yang sudah tercurahkan. Membenci apa yang tak semestinya dibenci.

Kukira kisah ini kan berakhir bahagia bak kisah menawan di novel roman yang biasa kubaca. Namun nyatanya aku malah makin terjerembap dalam lembah harapan yang melumerkan segala logika. Terus saja bertahan meski luka makin menyayat penuh siksa.

Walau hingga kini, harapku masih sia-sia belaka.

Wangi segar bunga di taman yang dulunya begitu akrab dengan hidungku. Kini seperti bau anyir darah yang mengusik tajam dan membuatku mual. Benang sari dan putik yang saling melengkapi membuat jijik. Benci. Kenapa aku tak seperti mereka. Dekat dan saling berbagi cinta.
Air mataku seketika tumpah ruah sia-sia. Berguguran menimpa rerumput liar yang hampir tiap hari terinjak banyak nyawa.

Pernahkah mereka mengeluh? Pernahkah mereka merasa hina? Atau justru masih sanggup tersenyum di atas luka?

Kuusap helainya yang sobek dan kotor tergilas roda sepeda. Aku mulai membuka percakapan dengan mereka.

“Akankah suatu saat kalian kan hidup tentram? Tanpa perlu lagi merasakan getirnya kehidupan. Jika jawabannya ‘Ya’ maka aku kan meniru kalian.”

Rumput liar hanya bergoyang lemah. Aku tak paham maksudnya apa.

“Atau malah kan mati sia-sia? Jika jawabannya tetap ‘Ya’ maka mungkin aku pun kan bernasib sama.”

Para pengunjung taman mulai berkerumun mengelilingiku. Menatap iba. Kenapa? Kenapa seperti itu? Apa aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini rambutku awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena dipukuli orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.

Cuih.

Kuludahi saja baju mereka. Ada yang kena, ada juga yang tidak. Hatiku mengembang bahagia. Sebab mereka kini sama hinanya denganku. Bau.

Lihat. Tatapan mereka yang awalnya teduh, kini menyala. Melotot seperti hendak melompat. Marah, mungkin. Namun apa peduliku. Kisah cinta sepihakku saja hingga kini tak ada yang peduli. Jadi untuk apa aku peduli pada orang lain.

Aku berlarian. Meninggalkan mereka sebelum amarahnya meledak-ledak. Lari dan terus lari hingga berhenti di tengah rel kereta api yang kebetulan tengah difungsikan. Orang-orang meneriakiku.

Kenapa? Kenapa seperti itu? Apa aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini rambutku awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena dipukuli orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.

Tunggu. Kali ini ada yang berbeda. Kereta api tinggal beberapa meter mencium tubuhku dengan manja. Apa yang harus aku lakukan? Menyelamatkan diri, atau membiarkan tubuhku tertabrak dan mati sia-sia?

Ah, ya. Pilihan kedua cukup menarik. Karena dengan begitu, penantianku akan segera berakhir. Selamat tinggal dunia.

Kamis, 02 Mei 2013

Aku yang Baru

Dear, Leli

Apa kabar kamu? Sudah berhasil merajut mimpikah? Atau masih terombang-ambing di laut lepas seperti belasan tahun lalu? Ah, kamu. Coba kutebak, ya? Kau pasti sudah menemukan beberapa helai benang, menggeggam jarum, namun masih gentar karena takut tertusuk dan terluka.

Ayo bercermin. Lihat dirimu yang sekarang. Oh, betapa malangnya dirimu. Pengangguran tak jelas juntrungan. Bekerja setengah hati hingga akhirnya kau menyerah dan keluar dari tempat kerja. Mau jadi apa dirimu? Anak yang belum mampu membalas budi, tapi tak ada usahanya sama sekali.

Kudengar, kau sudah mulai punya mimpi. Ayolah. Jangan terus-terusan menjadi pecundang. Aku tahu kau mampu. Aku yakin kau bisa. Syarat utamanya hanya satu, KEYAKINAN. Bila kau sudah meneguhkan keyakinan dalam hati dan pikiranmu, langkah selanjutnya adalah bekerja keras untuk mewujudkannya dan tak lupa berdoa.

Masih tetap ragu? Dasar payah. Ubah rasa takut akan kegagalan, kerisauan yang melilit diri dengan semangat juang tinggi.

Kau masih muda, masih sanggup berkarya.

Sekarang, coba lepaskan beban yang memenuhi isi kepala. Rileks kan dirimu. Rapalkan sebuah doa. Minta, minta kepada-Nya. Agar jalanmu diberi penerangan. Sebut mimpi-mimpimu mesti masih sedikit mengabur. Berjanjilah, kau tak kan pernah berhenti hingga apa yang kau citakan bisa terwujud.

Belajar untuk move on. Melangkahlah. Jangan hanya berjalan di tempat apalagi memutuskan untuk mundur. Kau harus berusaha untuk bisa menghargai diri sendiri. Meyakini akan kemampuanmu diri. Biarkan orang berkata apa. Biarkan dunia menertawaimu. Sebab mereka tak tahu betapa sulitnya menjadi dirimu.

Sudah paham kan? Bagus. Sekarang, saatnya membentangkan tangan. Teriakan pada seluruh jagat raya, seperti ini.
"Inilah aku yang baru. Aku yang berani bermimpi. Aku yang penuh gejolak semangat tiada henti. Hei, pintu sukses. Tunggu aku, ya? Cepat atau lambat, aku pasti akan menemukan kuncimu."



Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Ketika Cinta Harus Pergi