Jumat, 15 April 2016

Mulut Jahat dan Dusta Pernikahan

Oleh: Leli Erwinda

Mungkin—dan semoga saja—tidak pernah ada yang tahu alasanku hingga sudi dipersunting pria berkantong pas-pasan sepertinya. Maksudku Mas Agha, suamiku.

Tampan memang, namun jauh dari kesan mapan. Lain lagi nanti, saat mulut-mulut jahat tetangga kembali berdesis seenak jidat. Aku sudah menikah, hanya itu yang harus mereka tahu. Selebihnya biar jadi urusanku.

Tiga minggu lalu, kami—aku dan Mas Agha— bersanding di pelaminan. Berdampingan menyalami tamu-tamu, menyambut derasnya ucapan selamat, doa-doa, rasanya begitu saja sudah cukup. Setidaknya cukup untuk menepis tudingan miring terhadapku beberapa bulan terakhir. Juga anggapan keliru dari teman kecilku, Santi.

"Kami masih saling mencintai," sergahku, beberapa waktu lalu. Gerah dengan nasihat-nasihat Santi yang terkesan memojokkan.

"Benar. Tapi sekarang 'kan keadaannya beda, Lis. Dia sudah jadi suami orang!" tukasnya, seakan membuka pikiranku yang barangkali dianggapnya sudah mampat.

Secepat gunjingan bodoh yang segera saja sampai ke telinganya. Secepat itu pula caranya menilaiku. Bagus! Bahkan ia mau repot-repot datang dengan membawa serta bayinya kemari.

"Ssst ... pelankan  suaramu. Memangnya kauanggap apa bayimu itu?"

Kulihat makhluk mungil itu menggeliat tak nyaman. Santi memperbaiki gelungan kain gendongnya, menepuk-nepuk pelan bokong putranya, lalu membiarkan kepala si kecil menyelip di ketiak. Siap tersihir oleh aroma khas yang menguar dari sana.

"Sudah berapa lama hubungan kalian?"

"Hubungan apa?" desisku. "Dia butuh aku, San. Dia lelaki kesepian. Istrinya terlalu sibuk."

Terang aku membela diri. Mas Seno hanya mantan kekasih yang masih kukasihi. Kedekatan kami sebatas saling mengisi. Itu saja. Tapi nanti bila hatinya tiba-tiba berpaling lagi padaku, jangan salahkan. Itu konsekuensi yang harus ditanggung istrinya karena tidak becus mendampingi suami. Terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Meski sungguh, aku tidak akan pernah mau dinikahi pria beristri.

"Dik? Kamu melamun?" tegur Mas Agha, yang entah sejak kapan berdiri di samping meja dispenser. Jaket kulit favoritnya masih melekat di badan. Sementara aku duduk di sofa sembari memandangi foto pernikahan kami.

"Aku ingin cerai, Mas," kataku, enteng. Semudah perkataan balita yang meminta uang jajan pada ibunya.

"Apa? Kamu mau mengerjai Mas, ya?" Mas Agha terkekeh. Tawa itu, tawa yang tanpa beban, tanpa kepalsuan. Mendadak aku merasa jahat bila sampai merusaknya. Tapi ini harus kutuntaskan secepatnya.

"Aku nggak main-main, Mas. Aku minta cerai. Secepatnya."

"Aku nggak tahu ada apa sebenarnya. Tapi apa semudah itu? Usia pernikahan kita bahkan belum genap sebulan, Dik."

"Memang. Baru berjalan dua puluh delapan hari dan itu sangat menyiksaku, Mas! Aku bisa kena darah tinggi gara-gara hidup sama kamu."

"Maaf. Mas minta maaf karena masih sering lupa aturan di rumah ini."

"Lupa kok tiap hari. Apa susahnya sih, belajar rajin? Mas 'kan tau Lilis paling benci kalau rumah berantakan. Lihat kebiasaan, Mas. Naruh baju sembarangan, piring kotor semaunya. Nggak risih apa, Mas? Apa lagi handuk bekas mandi, bukannya dijemur malah dibiarkan di kasur. Kan sprey-nya jadi gampang apek!"

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.10. Sementara aku masih saja mengomel. Mengungkit kesalahan demi kesalahan, kecerobohan, kekurangan, termasuk juga kekeliruan tak sengaja yang diperbuat Mas Agha namun sengaja kubesar-besarkan; dilebih-lebihkan.

Kupojokkan dia dengan kalimat-kalimat sindiran. Mengenai penghasilan harian pas-pasannya yang tak cukup memenuhi kebutuhan. Aku ingin sekali melihatnya berang. Bila perlu sampai membanting barang-barang. Memaki, menyakiti fisikku, apa pun itu asal bisa menimbulkan kegaduhan.

Tapi apa yang kudapat, pria itu justru tak berkutik. Diam mirip patung. Rahangnya tidak menegang, pun sorot matanya tidak nampak berkilat-kilat andai dia tengah menahan amarah yang siap membludak. Aku bahkan curiga, jangan-jangan ocehan panjangku tidak menyentuh telinganya. Barangkali sudah diprogram, agar pada waktu-waktu tertentu bisa disetel: ditulikan sementara.

Aku benci situasi ini. Sia-sia upayaku mengoyak sisi tenangnya.
Tapi tunggu! Mas Agha mulai bereaksi. Pandangannya tertuju padaku. Manik mata kecokelatan itu seakan terjulur bagai tangan, menggenggam penglihatanku. Aku terkunci di dalamnya. Ia mendekat. Nyaris tanpa mengalihkan pandangan ke arah selainku. Kini gantian aku yang tak berkutik.

Jarak kami semakin rapat, aku mulai ketakutan saat jemarinya mencengkram kedua pundakku. Ingin lari, tapi terlambat. Ia telanjur menarikku ke dalam pelukannya. Bibirnya menyentuh telingaku. Lalu berbisik lembut, "Akan aku turuti maumu."

Usai sidang perceraian aku malah jatuh sakit. Vertigoku makin sering kambuh, asam lambung seringkali naik. Padahal saat masih serumah dengan Mas Agha tidak begini. Ya, harus kuakui dialah yang selalu mengingatkanku jam makan, juga menegurku saat terlalu sibuk dengan kerjaan.

Selama sakit, mantan mertuaku mendesak agar aku tinggal dulu di rumahnya. Tapi ujung-ujungnya Mas Agha-lah yang merawatku.

Sebenarnya bisa saja dirawat di rumah sakit, tapi aku masih trauma dengan tempat itu. Kedua orangtuaku meninggal setelah dibawa ke sana.

Ketulusan Mas Agha, sedikit demi sedikit melenturkan kerasnya aku. Dia pria baik,  namun sayang, baru disadari belakangan ini. Aku membutuhkannya. Tapi apa mungkin kami bisa rujuk?

"Lis?" Mas Agha mengenggam hangat jemariku. Sepasang mata teduhnya menatapku, seperti akan bercerita sesuatu.

"Ya, Mas. Ada apa? Kelihatannya Mas Agha mau ngomong serius."

"Begini, Lis." Mas Agha nampak ragu-ragu.

"Mas?"

"Aku mau menikah lagi," tuturnya, hati-hati.

Seketika rasa percaya diriku sirna. Ada yang patah di dalam dada. Inikah yang dinamakan cinta?

Benar, bahwa aku yang telah menyiakannya, maka kini giliranku yang harus menghadapi fakta: cinta terlambat tak akan ada harga.

Tidak ada gunanya menahan seseorang yang akan meninggalkan kita, bukan? Karenanya kurelakan niat Mas Agha menikahi wanita lain. Meski sejujurnya terselip rasa cemburu di hatiku.

***

Semenjak hari pernikahanku, Mas Seno tidak pernah lagi menemui bahkan menghubungiku. Jangankan untuk curhat masalah perangai istrinya yang hobi berbisnis tanpa kenal waktu, sekadar tanya kabar pun tidak.  Tapi begitu berita perpisahanku dengan Mas Agha menyebar, saat kesehatan sudah berangsur membaik, tanpa pesan apa-apa dia tiba-tiba bertandang ke rumahku.

"Begitulah, Lis, hidup berumahtangga. Pahit! Tapi akan lain ceritanya kalau kamu menikah denganku."

"Lagi bercanda ya, Mas? Lilis nggak mau ah, jadi istri kedua."

"Siapa bilang istri kedua? Akan kuceraikan istriku demi kamu, Lis."

***

"Ooo, jadi waktu itu kamu menikah supaya nggak lagi dicap perawan tua ya, Lis?" celetuk salah seorang tetanggaku.

"Bukan hanya karena alasan itu. Dia bermaksud menutupi kebusukannya sebagai penggoda suami orang!" imbuh yang lain.

Sambil menyeret koperku ke tepi jalan, menanti taksi pesanan, tak kuhiraukan mulut jahat mereka.

Benar, bahwa aku menikah supaya tidak lagi dicap perawan tua. Aku yang sibuk mengejar karier hingga tidak sempat memikirkan memilih pendamping hidup. Menikah lalu bercerai karena bagiku mungkin menjanda lebih baik daripada dilabeli perawan tua kegatelan. Tapi aku tidaklah sebusuk yang mereka kira.

"Berbahagialah dengan cinta barumu, Mas Agha. Kembalilah pada istrimu, Mas Seno. Dan, para tetangga, semoga Tuhan mengampuni mulut jahat kalian! []

Bandar Lampung, 11 Januari 2016

Minggu, 03 April 2016

Revolusi Ilusi

Resolusi Ilusi
Oleh: Leli Erwinda

Dini hari
Angkasa sumringah berseri
Dihias rekah-rekah bak taman asri
Dari luncur kembang api yang gencar berkejar, berlari
Yang letupnya menggetar sanubari
Penanda
T'lah tiba di satu Januari
Detik yang detak dari ujung tombak resolusi
Berkalung harap semoga terealisasi
Teringat target satu Januari lalu tak ubahnya basi-basi
Mudahnya dirapal namun minim aksi
Jauh jua dari jangkau prestasi
Resolusi 'kah, atau sekadar ilusi?

Bandar Lampung, 01/01/2016

Kematian Cinta Pada Bekas Pendosa

Kematian Cinta pada Bekas Pendosa
Oleh: Leli Erwinda

Jika mencintaimu adalah dosa
Maka akulah pendosa paling hina
Yang bau busuknya menguar, menembus lapis baja
Andai mencintaimu ialah luka
Akulah tetes darah, bahkan nanah paling menjijikan yang pernah ada
Jika, dan andai saja aku masih mencintaimu layaknya dulu kala
Barangkali kematian lebih mulia
Ya, kala itu aku ingin sekali mati
Lalu dibangkitkan kembali untuk mencintamu satu kali lagi
Di kesempatan kedua
Di mana aku tak perlu lagi jadi pendosa
Atau si Busuk yang tak diinginkan siapa-siapa
Andai ... andai saja cinta itu masih ada

Bandar Lampung, 26 Februari 2016

Sabtu, 02 April 2016

Di Musim Patah Hati

Di Musim Patah Hati
Oleh: Leli Erwinda

"Patah."

"Apanya? Kemarilah, biar kuperbaiki."

"Yang patah di dalam dada, dengan apa kamu memperbaikinya?"

Lagi. Untuk ke sekian kali aku menyaksikan kerapuhan di mata embun Milia. Titik-titik bening yang senang berguguran di musim patah hati ciptaannya. Tidak pernah hilang dari ingatan bagaimana Milia menangisi berakhirnya kisah cinta orang lain.

"Mereka masih saling mencintai," ujarnya, sendu.

"Tahu dari mana? Jelas-jelas mereka saling memaki. Dan, kamu lihat, keduanya keluar kafe lewat pintu yang berlainan."

"Itu benar. Tapi sejak kapan mata bisa berbohong?"

Mata yang berbohong? Harusnya aku yang bertanya, sejak kapan mata bisa bicara. Oh, tidak-tidak. Tanyakan saja pada diriku, bagaimana bisa betah duduk berlama-lama bersama wanita melankolis seperti Milia?

"Sudah kukatakan padamu, Mil, kendalikan candumu pada film-film mellow drama. Begini 'kan jadinya?"

"Tapi yang di hadapan kita tadi bukan drama, Gha. Itu sungguhan," pungkasnya. Masih menatap nanar pada meja nomor tiga yang telah kosong. Sekosong hati dua sejoli tadi, barangkali.

Aku menyerah. Lebih baik diam atau Milia akan terus berceloteh dan semakin mengundang perhatian pengunjung lain. Meski langkah yang kuambil terlambat karena kini dua orang wanita muda sudah keburu menghampiri meja kami.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya wanita berjilbab hijau tosca yang berdiri memunggungiku. Nadanya terdengar tulus.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Milia balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan. Awan kelam masih menyaputi langitnya.

Langit, yang menghitam karenaku. Ya, sejak perpisahan itu, sejak cinta yang tumbuh di antara kami dipaksa mati. Paska kematianku. []

Bandar Lampung, 07/03/2016

Dia yang Menelanmu Diam-Diam

DIA YANG MENELANMU DIAM-DIAM
Oleh: Leli Erwinda

Ruangan itu tetap lengang meski di siang hari. Hanya beberapa mahasiswa  saja yang terlihat di sana. Itu pun terpaksa. Sebab begitu buku-buku yang dicari ketemu, mereka akan segera angkat kaki. Meninggalkan wanita bertubuh tambun yang terkantuk-kantuk di atas meja berdebu, serta pemuda pendiam yang sering tidak disadari keberadaannya.

Adalah Frandy, satu-satunya mahasiswa yang betah berada di tempat itu. Duduk di sisi paling pojok sembari bersandar pada dinding yang catnya makin memudar, bahkan mengelupas seiring waktu. Tempat yang seolah bagai taman biasa baginya, tapi dinamai 'tempat terkutuk' oleh mereka yang memahami.

Jika hatinya mulai diliputi bosan, ia akan bangkit dan menelusuri rak-rak yang saling berjajar. Memilih satu-dua buku untuk dibaca atau sekadar dibolak-balik saja. Seperti saat ini, ia melangkah dari sisi kiri ke sisi kanan. Jarinya ditempelkan di ujung-ujung buku dengan kaki yang terus melangkah. Gerakannya terhenti, saat telunjuk menyentuh buku bersampul hitam. Dengan gambar seorang wanita cantik bergaun semerah darah. Senyumnya tersungging, seakan menggoda Frandy untuk segera memilih, membacanya.

"Sepertinya menarik," batin Frandy. Ia pun segera membawa buku itu ke kursi semula.

Mendadak hatinya tidak tenang. Ada desiran-desiran aneh tiap matanya bersitatap dengan gambar wanita di buku yang ia pegang. Tatapan tajam yang makin lama semakin melenakan. Enggan lepas bagai dua uluran tangan yang saling berpaut.

Bukunya seketika saja terbuka secara acak, lalu tiba-tiba jatuh berdebum hingga mengejutkan penjaga perpustakaan yang tertidur.

"Siapa di sana?" teriak wanita tambun, parau. Kini selain dirinya, tidak ada siapa pun kecuali kesunyian.

Bandar Lampung, 16/03/2016