Kamis, 11 Januari 2018

Resensi: Pejuang Kebebasan yang Menyerah untuk Menang

Judul Buku: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Diva Press
Cetakan: I, Mei 2017
Tebal Buku: 144 halaman
ISBN: 978-602-391-415-9

Nama Arafat Nur makin dikenal sejak bukunya berjudul Lampuki  memenangkan sayembara Dewan Kesenian Jakarta di tahun 2010. Tahun 2016 lalu, kembali ia mengukir prestasi dengan memenangkan sayembara serupa.

Masih tentang Aceh. Tanah kelahiran penulis yang memberi banyak pengalaman begitu membekas. Berhubungan dengan konflik di wilayah tersebut pada masa silam. Kali ini Arafat Nur kembali mengangkat tema senada, seperti karya sebelumnya yang ia susun berdasarkan sebuah catatan salah seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menariknya,  penulis menawarkan dua sudut pandang bagi pembaca dalam menikmati karyanya. Bisa dinikmati sebagai novel sejarah, atau sebuah novel romantis.

"Mati kena tembak adalah salah satu  jalan akhir dari banyak jalan akhir lain pada kehidupan ini. Meskipun begitu, secara tidak langsung, saat ini telah menjadi  pilihan yang dengan sadar sedang kami hampiri perlahan (halaman 13).

Inilah kisah sekelompok pejuang, tentang mereka yang bercanda dengan maut. Begitu akrab dengan aroma kematian. Tetapi tak satu pun dari mereka menganggap perang itu sungguh-sungguh.

Mereka berada jauh dari rumah meninggalkan keluarga tercinta. Tinggal di teratak pinggiran hutan yang terpisah dari pemukiman penduduk. Yakni markas berdinding kayu ala kadarnya yang sangat jauh dari rasa nyaman. Lantas apa yang mereka cari? Keadilan. Menuntut keadilan atas perang jahanam yang telah merenggut paksa suami dari istrinya, pun ayah dari anak-anaknya.

Adalah Asrul, tokoh utama dalan kisah ini. Terpaksa memilih jalan hidup yang sebenarnya tidak diinginkan. Menjadi bagian dari para gerilyawan untuk melawan tentara-tentara pemerintahan. Asrul dan kawan-kawan sesungguhnya bukanlah pengkhianat atau pemberontak yang dengan sengaja membuat onar. Mereka adalah kelompok penuntut kebebasan dan keadilan. Asrul sendiri turut bergabung karena hasutan orang-orang agar menuntut balas atas kematian bapaknya dulu yang mati kena tembak. Padahal beliau hanya petani biasa.

Kala itu pasukan tentara tengah memburu gerilyawan yang lari ke kebun keluarga Asrul. Mereka marah karena gagal menangkap sang gerilyawan. Rupanya seorang prajurit telah terbunuh dan senjatanya dibawa kabur. Tentara melampiaskan amarah dengan menembaki Bapak Asrul secara membabi-buta. Menuduh beliau sebagai pemberontak (halaman 73). Di lain kasus, salah seorang pemilik kedai meregang nyawa di tangan tentara karena menolak memberi uang yang katanya guna operasi bela negara. Mati mengerikan dengan tubuh penuh cabikan peluru dan sayatan senjata tajam.

Waktu terus bergulir, hingga di suatu waktu markas Asrul dan kawan-kawan terkepung. Dua sahabat karibnya tewas. Ada pun Asrul sedang tidak di sana karena ia pulang setelah tiga tahun tinggal di hutan. Kawannya yang mengabari lewat telepon genggam. Asrul tak punya pilihan selain melarikan diri karena orang-orang yang telah diringkus pasti ada yang berkhianat dan memberitahu keberadaannya. Ia pun minggat ke kota lain. Luntang-lantung, bahkan menjadi gelandangan.

Setelah berhari-hari tidak punya tempat tinggal dan makan bekas sisa orang, ia ditemukan oleh Putri. Gadis kenalannya saat singgah sebentar ke meunasah di kota kecil Krueng Geukuh beberapa waktu lalu. Pertemuan yang jauh dari romantis, di depan jamban. Saat itu, di perjumpaan pertama, Putri meminta tolong pada Asrul untuk menyisir rambutnya. Aneh memang, ada seorang gadis jelita tetapi tidak pernah bisa menyisir sendiri rambut panjangnya. Kehadiran Putri dalam hidup Asrul, yang kemudian membuatnya berbalik pikir. Apa guna perang yang tak berujung ini? Menjadi pembunuh yang sewaktu-waktu bisa terbunuh. Ia ingin hidup normal. Asrul mungkin dianggap kalah bila ia menyerah, tetapi sejatinya ia menjadi pemenang kehidupan. Terbebas dari misi pembalasan dendam, dan leluasa menjaga orang-orang tercinta.

Membaca karya ini, menimbulkan ketegangan tak biasa karena penulis sesekali menyelinginya dengan lelucon, bahkan di area perang pun masih terselip canda gurau. Ada salah satu bagian yang menyentuh, yaitu pertemuan menggetarkan antara ibu dan Asrul. Betapa tidak, bertahun-tahun anak beranak terpisah. Hidup atau matinya entah.

Sebuah novel sejarah kontemporer yang digarap dengan apik dan berkesan. Alur berjalan alami dan menyentuh. Memuat pembelajaran bahwa hidup memang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Paksakan egomu meski harus mengorbankan banyak hal, atau kembali menata hidup di sisi orang-orang tersayang. Buku yang penting untuk dibaca dan direnungi.[]

(Pernah dimuat di harian Lampung Post, Minggu, 29 Oktober 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^