Minggu, 28 Januari 2018

Cerpen: Sesuatu Tentang Bapak

Oleh: Leli Erwinda

"Cincin apa itu, Rin?" Pertanyaan Ibu ibarat petasan yang disulut korek api. Meletup tepat di dadaku.

"Cuma cincin mainan kok, Bu," kilahku, cepat.

"Kamu jangan bohong sama Ibu. Ayo jawab jujur. Dari Agus, kan?"

Kali ini aku tidak bisa bohong. Oh, tidak, bukan hanya saat ini saja. Sudah berkali-kali aku gagal merahasiakan sesuatu dari ibu. Serapat apa pun aku menyimpan, sekeras apa pun sangkalan, pada akhirnya tetap saja ketahuan. Wanita itu seakan mampu membaca pikiranku. Instingnya kuat sekali.

"Iya, dari Mas Agus. Maaf, Bu, tapi tolong rahasiakan ini dari Bapak, ya. Ririn belum mau mati."

***

"Sekali saja kamu ngotot bertemu laki-laki itu lagi, lihat ... lihat saja nanti. Ibumu bakal nangis darah di atas jasadmu. Tak bunuh kamu, Rin!"

Bapak mengancamku sambil mengacung-acungkan golok kesayangannya. Besi panjang, pipih, dan tajam yang lebih dicintai ketimbang anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Benda yang bisa membuat bapak tidak bisa tidur semalaman hanya karena ketinggalan di ladang. Benda, yang barangkali bisa menukar nyawaku dengan kehormatannya.  Bapakku gila hormat. Sementara aku, rasanya hampir dibuat gila karena punya bapak sepertinya.

Harus kuakui, bapak memang salah satu orang tersohor dan disegani di kampung. Mengingat warisan tanah berhektar-hektar dari buyutku, sawah, dan sapi-sapi—yang menjadi ukuran kekayaan seorang penduduk kampung—yang kadang membuatnya besar kepala.
Masih kuingat nasihat menggelikan bapak sewaktu hubunganku dan Mas Agus belum diketahui olehnya.

"Menikahlah dengan lelaki seperti bapakmu ini, Nduk. Yang warisannya banyak. Makmur nanti hidupmu," ujar Bapak dengan pongahnya.

Aku hanya tersenyum kecut. Mengejek dalam hati. Tidak sudi rasanya bersuami seperti bapak. Harta boleh banyak. Tapi perangainya, terutama sifat sombongnya, amit-amit.

Di mata penduduk kampung, beliau dikenal sebagai warga yang berada, supel, dan dermawan. Hampir selalu turut andil di kegiatan kemasyarakatan. Tidak setengah-setengah bila dimintai iuran. Pokoknya wah, sekali! Tapi di mata putrinya ini, bapak tidak lebih dari seorang yang hobi membangun pencitraan.

Jika benar bapak orang baik, kenapa kebaikannya hanya dilimpahkan pada lingkungan? Kenapa begitu sulit untuknya menerima Mas Agus sebagai pendampingku hanya karena masalah pekerjaan? Apa faktor uang? Sesulit apa pun hidup kami nanti, aku berjanji tidak akan mengemis padanya. Lalu apa yang beliau risaukan?

"Dengar tidak, Rin?" Aku masih bergeming. Kontras dengan pikiranku yang ramai oleh umpat kekesalan pada bapak. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi sayangnya bapak bukan orangtua yang bisa diajak kompromi, terutama dengan anaknya.

"Rin?!" ulang Bapak, nadanya naik. Wajah dan matanya memerah seperti banteng mau ngamuk.

Aku tidak menyahut. Beranjak dari kebun kopi coklat belakang rumah, meninggalkan bapak yang belum selesai marah-marah. Aku berlarian sambil menahan sesak di dada, tidak tahu mau ke mana. Terpenting sejenak menjauh dari bapak.

Lari pagi kesiangan, mungkin itu yang tercetak di pikiran orang-orang saat berpapasan denganku. Bukan waktunya untuk peduli, pokoknya lari saja.

"Ririn! Ada apa?!"

Aku terus berlari, meski tahu benar itu suara Mas Agus. Aku baru ingat kalau kami ada janji bertemu.  Namun ancaman bapak kembali berdengung di telinga. Bapak akan membunuhku kalau aku sampai kepergok bersamanya.

Mas Agus mengejarku sambil terus memanggil-manggil. Berkat kakinya yang jenjang ia dengan mudah menyusul gerak kaki mungil ini. Digamitnya pergelangan tanganku, aku pun berhenti dan menoleh dengan napas yang masih ngos-ngosan. Matanya menangkap mataku. Tatap itu mengisyaratkan rasa bingung bercampur khawatir.

"Aku ... baik-baik saja, kok, Mas," ujarku, tidak meyakinkan.

Ia menggeleng, tahu benar kalau aku berbohong. Digenggamnya jemariku, melayangkan pandang sebentar, lalu membimbingku ke warung kopi Pakde Karjan. Warungnya masih sepi, syukurlah, karena itu artinya aku tidak perlu khawatir seseorang mengadu pada bapak. Tapi ini tidak benar. Tidak untuk situasi sekarang.

"Aku harus pergi, Mas," kataku, tak berdaya.

"Kamu ada apa? Kenapa buru-buru? Hari ini 'kan kita memang ada janji bertemu."

"Iya, aku nggak lupa, kok. Tapi tolong, Mas. Nggak untuk hari ini."
Mas Agus menghela napas. Ada seraut rasa kecewa yang coba ia tutupi.

"Pergilah, Rin. Meskipun Mas nggak mengerti masalahmu, dan nggak berhak memaksamu untuk cerita. Mas cuma mau kasih ini. Dan, selamat hari jadi kita yang kedua. Doakan uang Mas cepat terkumpul supaya tahun depan bisa lamar kamu."

***

Ibu mengernyit saat mendengar kata mati.

"Ngomong apa tho, Rin? Apa hubungannya pakai cincin pemberian Agus, ketahuan Bapak, dan mati?"

"Ibu kemarin nggak dengar? Bapak mau bunuh aku, kalau aku sampai ketahuan masih ketemuan sama Mas Agus."

Ibu langsung diam. Menerawang. Entah pikirannya mulai menjelajah ke mana. Yang jelas aku merasa ditinggal. Tak lama air mukanya berubah.  Aku mengendus sesuatu yang tidak mengenakan akan terlontar dari mulut ibu. Dan benar saja.

"Mulai sekarang jauhi saja laki-laki itu, Rin. Kalau bukan kamu, bisa jadi Agus yang celaka. Bapakmu bukan orang yang suka main-main dengan omongan."

Bagus! Kedua orangtuaku rupanya telah bersekutu. Mereka tidak ingin kami bersatu.

"Ririn nggak janji, Bu." Aku menyahut sambil menahan nyeri di dada. Bertanya pada Tuhan.  Kenapa situasinya malah jadi sulit saat aku dan Mas Agus ingin memantapkan hubungan?

"Tapi berjanjilah untuk menjaga diri dari amukan bapakmu," lanjut ibu.

Aku menelan liur. Melahap kata-kata ibu. Diiringi suara golok yang tengah diasah bapak yang tertangkap gendang telingaku. Terdengar ngilu. Ah, apa mungkin hidupku akan berakhir di tangan bapakku sendiri? Jika iya, maka sama halnya bapak mencoreng wajahnya sendiri dengan arang. Kematianku bakal jadi titik awal lunturnya rasa hormat orang-orang padanya.

Kopi dan kue klepon kesukaan bapak sudah disiapkan ibu pada nampan. Aku diminta mengantarnya ke pekarangan belakang. Ke tempat favorit bapak menghisap cerutunya, juga tempat biasa beliau mengasah golok kesayangan. Benda itu lagi. Terus terang aku merinding tiap mengingat atau menyebut benda itu.

Bapak tidak ada. Kuletakkan saja nampannya di kursi bambu. Untuk beberapa saat mataku menyapu, tetap tidak ketemu. Namun kilat golok yang ditimpa sinar mentari membuatku silau. Bapak pasti lupa tidak membawanya.

Entah keberanian dari mana, mungkin saja dorongan rasa penasaran, aku mendekati benda yang sudah seperti belahan jiwa bapak. Tanganku agak gemetaran saat meraihnya. Takut ketahuan oleh bapak.

Kuusap permukaannya dengan hati-hati. Tajam sekali. Pastilah sekali tebas lawan langsung tumbang. Asal bukan leherku saja yang jadi sasaran. Lalu mendadak ada yang menarik perhatianku. Di dekat gagangnya, tertera ukiran nama. Nama bapak, dan nama seorang wanita. Tapi bukan ibu.

"Anak lancang!" umpat bapak, mengampiriku. Matanya mendelik sampai mau copot. Aku pun dibuat gelagapan setengah mati. Sampai-sampai, golok dalam genggaman terlepas. Nyaris mendarat di jempol kaki.

"Si-siapa perempuan itu, Pak?"

"Itu nama almarhumah ibunya Agus. Pacar simpanan bapakmu dulu!" sahut ibu tiba-tiba dari arah belakangku.

"Sekalian bilang matinya kena bacok saya."[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^