Rabu, 01 Juli 2020

Bahagiaku Kamu

Oleh: Leli Erwinda

Jika aku boleh meminta
Maka kupilih mati dalam dekapmu saja
Agar kau tahu ... bahwa sejak hari itu, di hari kita satu
Telah kuserahkan seluruhku hanya padamu
Dan bahwa bahagiaku, ada dalam kendalimu
Sedang bahagiamu adalah juga milikku

Di kala kau rasa sedih, marah, kecewa
Lantas geming tanpa sepenggal kata
Maka akulah si pendosa
Yang hanya mampu bicara lewat derai air mata yang tiada hentinya

Kuakui 'ku lemah tanpa senyummu
Yang tegar dalam dekapmu
Karenanya rengkuh aku seeratnya meski saat itu kau sangat ingin lari dari pandanganku

Kata orang cintaku berlebihan
Namun kubilang inilah bentuk pengabdian
Aku yang mengabdikan seluruhku kepadamu
Meski artinya, sekali lagi, bahagiaku ada dalam kendalimu

Bandar Lampung, 7/09/2019

Rabu, 30 Oktober 2019

Resensi: Tekad Setegar Karang Para Anak Badai





Judul Buku: Si Anak Badai
Penulis: Tere Liye
Co-author: Sarippudin
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Agustus 2019
Tebal Buku: 322 halaman
ISBN: 978-602-5734-93-9


Si Anak Badai merupakan buku keenam dari serial anak nusantara yang ditulis oleh Tere Liye. Karena isinya bukan kelanjutan cerita dari buku sebelumnya. Maka meskipun berseri, dan memiliki nuansa yang mirip, buku ini tetap bisa dinikmati langsung oleh siapa pun, bahkan oleh peminat baru serial anak nusantara.

Ada pun pada karyanya kali ini, Tere Liye menyuguhkan sebuah kisah tentang potret kehidupan masyarakat di kampung Muara Manowa. Sebuah perkampungan yang dibangun di atas muara sungai, dengan kapal-kapal kecil sebagai alat transportasi. Demi memudahkan para warga dalam berlalu-lalang, hidup bertetangga, serta penghubung dengan daratan,  dibangun jembatan berbahan dasar papan ulin. 

Membaca buku ini, nantinya akan mengundang pembaca untuk bernostalgia kembali dengan kenangan akan keseruan masa kanak-kanak. Tentang kepolosan, keberanian, kesetiakawanan, tekad, keisengan, cinta monyet, gurauan, serta sederet kejadian khas dunia anak-anak. Disuguhkan pula konflik sosial yang tengah terjadi di kampung tersebut.

Adalah Za, Awang, Ode, dan Malim. Empat sekawan yang akhirnya mendapat julukan geng Anak Badai. Keempat bocah inilah yang akan mengantarkan pembaca pada petualangan seru. 

Kisahnya dimulai dengan kebiasaan anak-anak kampung Manowa yang duduk di bale, menunggu kapal-kapal besar lewat mengangkut penumpang. Mana kala kapal mulai mendekat, mereka akan melompat, berenang ke arah kapal, lalu melambai-lambaikan tangan. Penumpang yang sudah hapal dengan kebiasaan anak-anak tersebut, akan melemparkan koin. Membuat mereka timbul tenggelam berebut koin yang berjatuhan. 

Cerita pun berlanjut. Zakaria, atau yang akrab disapa dengan Za, yang merupakan tokoh sentral dalam buku ini. Ia memiliki seorang Mamak yang meski terlihat galak, sebagaimana sifat seorang ibu pada umumnya, sebenarnya mamak adalah sosok ibu yang penyayang.

Hal ini terlihat ketika ia ingin menebus rasa bersalahnya karena terlalu fokus menjahit baju pesanan warga hingga seolah mengabaikan keluarga. Mamak berjanji akan mengajak Za beserta kedua adiknya: Fatah dan Thiyah, ke pasar terapung dan membebaskan mereka membeli apa saja. Agar mereka tahu, Mamak sungguh menyayangi mereka bertiga (halaman 133). 
Za pun patut bersyukur memiliki bapak yang bijaksana. Nampak dari sikap bapak yang tetap santai meski Mamak memasak makanan yang tidak sesedap biasanya. Hambar lebih tepatnya. Bukan amarah, bapak justru memuji masakan istrinya. Bukan dari segi rasa, bapak menilai pengorbanan Mamak dalam menyajikan makanan. Bagaimana Mamak menyempatkan diri untuk memasak di sela-sela kesibukannya menjahit belasan baju kurung grup rebana dalam tempo dua minggu saja. 

Keceriaan Za bersama tiga sahabatnya, kegiatan sehari-hari Za sekeluarga yang  sederhana namun hangat, suasana kampung Muara Manowa yang penuh warna, seketika saja terusik oleh kehadiran tamu tak undang. Bajak laut, begitu Za dan kawan-kawan menyebutnya. Pak Alex, pria bertubuh gempal, datang membawa kabar yang kontan membuat riuh warga setempat. Kabar tentang akan dilaksanakannya pembangunan pelabuhan. Satu keputusan besar diambil tanpa kesepakatan atau persetujuan lebih dulu dari warga kampung, lantas menyulut amarah serta protes dari orang-orang. Terutama Pak Kapten, sosok yang paling disegani para warga kampung Muara Manowa. Terbayang sudah nasib mereka yang harus angkat kaki dari tanah kelahiran sendiri.

Pertemuan pertama antara Pak Alex dan warga tidak mencapai kesepakatan. Di lain kesempatan, Utusan Gubernur yang datang berkunjung dengan misi yang sama.
Ia telah berkeliling, melihat rumah-rumah, sekolah, hingga masjid, dan menilai bahwa kampung ini tidak layak huni. Ia mengatakan kalau bangunan sekolah di sana tidak lebih baik dari kandang kambing di kota. Setelahnya, beliau menjanjikan banyak hal manis untuk kemajuan kampung Manowa. Dan lagi, mereka semua akan dipindahkan, dibuatkan rumah, sekolah, dan juga masjid yang lebih layak (halaman 148-149). 

Pertemuan kedua juga berakhir dengan kacau karena warga sama sekali tidak tergiur oleh janji-janji yang belum tentu benar. Namun sayangnya, penolakan warga tidak berarti apa-apa. Proyek pelabuhan akan tetap dilaksanakan. 

Di sinilah tekad dan keberanian geng Anak Badai: Za, Ode, Awang dan Malim diuji saat mereka berjuang menggagalkan pembangunan pelabuhan. Strategi apa yang akan mereka ambil, kendala apa yang harus mereka hadapi, nantinya akan terungkap setelah pembaca menyimak buku ini hingga halaman terakhir. 

Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa diambil lewat buku ini. Kita bisa belajar tentang kegigihan, kesetiakawan, keberanian, dan keteguhan dalam mempertahankan apa yang sudah menjadi hak kita. Dari tokoh Za, penilaian kita selama ini mungkin akan berubah. Bahwa tidak hanya anak kota, anak-anak yang tumbuh di perkampungan terpencil pun tetap bisa mempunyai nalar dan kecerdasan dalam bertindak.[]

Selamat berburu bukunya dan bersiap untuk berpetualang bersama geng Anak Badai yang kece badai. ^_^




Kamis, 15 Februari 2018

Resensi: Resapi Indahnya Hidup dengan Jalani, Nikmati, dan Syukuri Apa pun Kondisinya

Judul Buku: Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis: Dwi Suwiknyo
Penerbit: Noktah (DIVA Press Group)
Cetakan: I,  Januari 2018
Tebal Buku: 260 halaman
ISBN: 978-602-50754-5-2

Reaksi saya saat membaca buku ini adalah seketika merenung, kemudian tumbuh banyak pertanyaan  kepada diri sendiri, seperti: Apa sebenarnya tujuan hidupmu? Bagaimana caramu meraih tujuanmu itu? Apa kamu menikmati prosesnya? Sudahkah kamu menikmati hasilnya? dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan dalam pikiran. Dari sekian tanya yang ada, rupanya telah dijawab secara ringkas dan padat sejak awal membaca judul buku ini: Jalani, Nikmati, Syukuri.

Apa pun tujuannya, sesulit apa pun prosesnya, apa pun hasil yang didapat, ya dijalani, dinikmati, dan disyukuri. Terdengar simpel, ya? Tetapi memang itu yang ditawarkan penulis lewat karyanya ini. Penulis, dengan gaya penuturannya yang khas, sederhana tapi pas kena di hati membantu pembaca untuk mengurai keruwetan atau benang kusut yang memenuhi isi kepala yang menjadikannya tegang, kaku, menjadi lebih rileks. Membimbing kita untuk mencoba menyederhanakan masalah yang kadang kita sendiri-lah yang menjadikannya lebih besar dan lebih rumit. Seperti kondisi saat ini, sederet kegalauan yang hadir akibat bermasalah pada pekerjaan, keluarga, atau lingkungan, yang sumbernya jelas dari hati dan pikiran. Bila hati dan pikiran bisa diupayakan tetap tenang, jernih, maka perlahan masalah bisa diselesaikan satu demi satu dan galau pun seumpama badai, ia pasti berlalu.

Jangan Lupa Bahagia! pesan penulis, pada bab pembuka. Sebab tidak sedikit orang yang menjalani hidup, berjuang siang-malam demi mengejar target tapi tidak bahagia. Karena apa, mereka lupa menikmatinya. Terlalu ngoyo. Bukan tidak boleh bekerja keras, hanya saja jangan sampai membuat kita mengabaikan banyak hal. Abai pada kesehatan dengan memforsir diri demi pekerjaan, terlalu sibuk sampai tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan keluarga apa lagi tetangga. Walau bagaimana pun tubuh perlu istirahat, dan jiwa butuh sandaran, penyegaran berupa hiburan, yang bisa didapat lewat cara-cara sederhana seperti bercanda dengan anggota keluarga, saudara, atau tetangga. Karena segagah apa pun kita kini, besok-besok ketika penyakit datang tak terelakan, tubuh tumbang di atas ranjang, mereka-lah yang akan merawat kita. Jadi jangan berjuang seorang diri. Libatkan mereka, orang-orang terkasih dalam setiap jejak perjalanan. Contoh kasusnya bisa ditemukan pada bagian prolog buku.

Bicara soal bahagia, timbul lagi pertanyaan. Kenapa seseorang sulit bahagia hingga hampir selalu terlihat murung, sampai-sampai sekadar tersenyum pun susah? Karena hari-harinya terlalu fokus dengan masalah dan penderitaan. Padahal itu semua bersifat sementara. Kalau terus-menerus begitu, bagaimana bisa kita menikmati hidup? Yuk, mulai berkawan dengan rasa sabar, syukur, dan tetap bahagia.

"Dan sungguh akan Kami berikan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar." (QS. Al-Baqarah [2]: 155) Berbahagia dan tetap tegar dalam segala situasi dan kondisi. Sebab bisa jadi keadaan yang aman-aman saja malah membuat manusia lupa pada Allah (halaman 15). Rasa butuh terhadap Tuhan berkurang karena  hidup baik-baik saja. Adanya masalah, menjadikan manusia untuk ingat pada penciptanya, lantas memohon petunjuk pada Yang Maha Pemberi Pertolongan. Bukan hanya Tuhan, rasa butuh terhadap orang-orang terdekat pun turut berkurang karena merasa bisa berdiri tegap tanpa orang lain. Hidup baik-baik saja tanpa bergantung pada siapa pun. Begitu gagal, atau jatuh sakit, barulah tersadar kalau hidup ini tidak bisa dilalui sendirian.

Bila kini kita sedang dalam situasi lupa untuk bahagia, maka mari menyimak bab berikutnya yakni: Belajar Bahagia. Belajar untuk bahagia meski tidak punya uang, dan bersikap wajar meski punya uang banyak. Hiduplah semampu dan senyaman kita. Kalau orang lain memiliki sesuatu, bisa jadi memang itulah yang dibutuhkan dalam hidupnya. Kita jelas punya standar kebutuhan hidup dan standar kenyamanan sendiri-sendiri (halaman 50-51). Pada bab ini penulis menekankan pentingnya sikap syukur. Merasa cukup atas rezeki yang diterima tanpa membanding-bandingkannya dengan rezeki orang lain sebab bisa memicu timbulnya rasa iri. Selama kita terus memandang ke atas, maka semakin pusing dan lelah sendiri yang kita dapat.

Selanjutnya adalah salah satu bab favorit saya: Kontes Kesengsaraan. Yang dari judulnya saja sudah menyiratkan kelucuan. Sengsara kok dijadikan ajang perlombaan? He he. Dan dugaan itu benar, saya terkekeh saat membaca cuplikan kisah pada bab ini. Penulis bercerita tentang pengalamannya bersama beberapa santri saat di pondok pesantren. Ketika perut keroncongan setelah seharian berpuasa, mereka malah datang terlambat ke dapur dan mendapat nasi keras sisaan yang menempel di pinggiran ceting. Oleh Mas Dwi, nasi-nasi sisa itu dikumpulkan dan diguyur dengan air putih yang kontan membuat teman-temannya melotot sempurna.

"Nah ini, nasinya sudah lembek, nggak keras lagi. Ayo, makan."

Lalu disantap dengan lahap begitu saja dan sebaliknya, temannya terlihat terpaksa melahap nasi itu. Beliau pun tertawa. Saya yang menyimak kisahnya jadi ikutan tertawa. Ha ha. Betapa terlihat indah kesengsaraan itu bila kita menyikapi dengan santai. Nikmati saja yang ada, bukan berandai-andai untuk sesuatu yang tidak ada.

Kisah tadi mengingatkan saya pada pengalaman semasa sekolah dulu saat ikut berkemah. Masih tentang nasi juga. Saat itu, beras yang anggota kelompok kami kumpulkan tidak sengaja terkena minyak tanah. Ditambah lagi di antara kami tidak ada yang bisa menanak nasi dengan baik. Walhasil, nasi yang dimasak tidak matang merata, sebagian masih ada yang keras. Belum lagi bercampur rasa dan bau minyak tanah. Sempurna, sudah. Tetapi kami tetap memakannya ketimbang menahan lapar. Pengalaman yang jelas tidak mengenakan tetapi memberi satu pelajaran bahwa, dengan menikmati kesengsaraan, justru menjadikannya lebih ringan untuk dilalui daripada meratapinya.

Selain bab favorit, ada pula bab yang saya banget, yakni: Selalu Ada Pilihan. Karena sejatinya hidup memang tentang pilihan-pilihan. Termasuk saya yang memilih bahagia dengan pilihan dan cara saya sendiri. Suatu keputusan yang mungkin bukan menjadi pilihan orang-orang kebanyakan. Bagi saya, tidak apa dinilai beda atau bahkan aneh atas jalan yang kita pilih. Selama tidak ada pihak yang dirugikan, selama masih sejalan dengan hati nurani, teruskan saja. Kita berhak memutuskan.

Berbahagialah saat kita masih punya pilihan-pilihan. Itu tandanya kita memiliki jalan kebahagiaan sendiri. Sebab, apa yang kita pilih, bisa jadi bukan pilihan orang lain. Kita bahagia melalui jalan yang kita pilih sendiri (halaman 113). Berani memilih, bersiap pula dengan segala konsekuensi yang ada. Termasuk disepelekan dan dinyinyiri tetangga. Anggap saja latihan mental. Makin lama makin kebal. He he.

Buku ini tidak tebal, tetapi ajaibnya banyak sekali yang bisa didapat dari membacanya. Sesekali saya dibuat mengangguk-angguk, beristighfar, merenung sekaligus malu. Khusus pada bab Belajar Menerima saya diajak untuk beristighfar berkali-kali. Istighfar atas banyak hal. Untuk kebodohan yang mudah menyalahkan orang lain. Disengaja atau tidak, terkadang saya memang menyalahkan orang lain atas kegagalan yang saya alami. Yang akarnya dari sikap mudah berputus asa, tergesa-gesa dan ingin hasil cepat.   Pada bagian lain lagi saya dibuat terkekeh. Senang sekali rasanya berkesempatan membaca buku ini. Apa lagi bisa menemukan kutipan-kutipan menarik yang membangkitkan harapan, menenangkan, menguatkan,  ada pula yang menohok.

"Anggap kontes kesengsaraan dalam hidup ini ialah kontes keimanan kita. Semakin sengsara, semakin terpancar keimanannya. Kepahitan hidup pun menjadi pupuk keimanan. Jadi subur imannya. Jadilah kuat. Sampai suatu saat kita bisa mengatakan dengan santai, "Ah, sengsara seperti ini sudah biasa." (halaman 73).

"Kemuliaan kita bukan ditentukan bagaimana cara orang lain bersikap kepada kita, tetapi dari bagaimana cara kita bersikap baik kepada mereka." (halaman 90).

"Hidup memang harus terus berlanjut. Tak peduli seberapa menyakitkan itu. Biarlah nanti waktu yang mengobatinya." (halaman 94).

"Bila ada situasi yang tidak menyenangkan, ingatlah puluhan situasi menyenangkan yang pernah kita lalui. Teruslah bersyukur sampai kita lupa caranya mengeluh." (halaman 168).

Selain kutipan-kutipan menarik, kisah-kisah berhikmah, disertai pula uraian pengambilan hikmah di tiap kisah. Mengandung nasihat, teguran-teguran yang dituturkan secara halus sehingga saya yang membacanya tidak merasa dihakimi atau digurui, lebih kepada mengingatkan dan mengajak untuk mawas diri.

Menarik dari segi isi, didukung pula dengan pilihan cover yang apik dan lay out di dalamnya. Lay out untuk buku non fiksi itu penting karena selain menambah daya tarik juga membantu pembaca untuk tetap betah menyelesaikan bacaan. Tidak monoton dan kegiatan membaca terasa lebih asyik.

Dari sekian banyak buku karangan penulis, ini adalah buku kelima beliau yang saya miliki dan saya khatamkan. Langsung masuk kategori favorit dan paling direkomendasikan bagi siapa pun yang butuh bacaan non fiksi yang bergizi dan menyenangkan sekaligus menenangkan saat dibaca. Semakin banyak pengalaman yang pernah dialami, materi-materi dalam buku ini akan semakin akrab di hati pembacanya.

Selamat berburu!

Minggu, 28 Januari 2018

Cerpen: Sesuatu Tentang Bapak

Oleh: Leli Erwinda

"Cincin apa itu, Rin?" Pertanyaan Ibu ibarat petasan yang disulut korek api. Meletup tepat di dadaku.

"Cuma cincin mainan kok, Bu," kilahku, cepat.

"Kamu jangan bohong sama Ibu. Ayo jawab jujur. Dari Agus, kan?"

Kali ini aku tidak bisa bohong. Oh, tidak, bukan hanya saat ini saja. Sudah berkali-kali aku gagal merahasiakan sesuatu dari ibu. Serapat apa pun aku menyimpan, sekeras apa pun sangkalan, pada akhirnya tetap saja ketahuan. Wanita itu seakan mampu membaca pikiranku. Instingnya kuat sekali.

"Iya, dari Mas Agus. Maaf, Bu, tapi tolong rahasiakan ini dari Bapak, ya. Ririn belum mau mati."

***

"Sekali saja kamu ngotot bertemu laki-laki itu lagi, lihat ... lihat saja nanti. Ibumu bakal nangis darah di atas jasadmu. Tak bunuh kamu, Rin!"

Bapak mengancamku sambil mengacung-acungkan golok kesayangannya. Besi panjang, pipih, dan tajam yang lebih dicintai ketimbang anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Benda yang bisa membuat bapak tidak bisa tidur semalaman hanya karena ketinggalan di ladang. Benda, yang barangkali bisa menukar nyawaku dengan kehormatannya.  Bapakku gila hormat. Sementara aku, rasanya hampir dibuat gila karena punya bapak sepertinya.

Harus kuakui, bapak memang salah satu orang tersohor dan disegani di kampung. Mengingat warisan tanah berhektar-hektar dari buyutku, sawah, dan sapi-sapi—yang menjadi ukuran kekayaan seorang penduduk kampung—yang kadang membuatnya besar kepala.
Masih kuingat nasihat menggelikan bapak sewaktu hubunganku dan Mas Agus belum diketahui olehnya.

"Menikahlah dengan lelaki seperti bapakmu ini, Nduk. Yang warisannya banyak. Makmur nanti hidupmu," ujar Bapak dengan pongahnya.

Aku hanya tersenyum kecut. Mengejek dalam hati. Tidak sudi rasanya bersuami seperti bapak. Harta boleh banyak. Tapi perangainya, terutama sifat sombongnya, amit-amit.

Di mata penduduk kampung, beliau dikenal sebagai warga yang berada, supel, dan dermawan. Hampir selalu turut andil di kegiatan kemasyarakatan. Tidak setengah-setengah bila dimintai iuran. Pokoknya wah, sekali! Tapi di mata putrinya ini, bapak tidak lebih dari seorang yang hobi membangun pencitraan.

Jika benar bapak orang baik, kenapa kebaikannya hanya dilimpahkan pada lingkungan? Kenapa begitu sulit untuknya menerima Mas Agus sebagai pendampingku hanya karena masalah pekerjaan? Apa faktor uang? Sesulit apa pun hidup kami nanti, aku berjanji tidak akan mengemis padanya. Lalu apa yang beliau risaukan?

"Dengar tidak, Rin?" Aku masih bergeming. Kontras dengan pikiranku yang ramai oleh umpat kekesalan pada bapak. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi sayangnya bapak bukan orangtua yang bisa diajak kompromi, terutama dengan anaknya.

"Rin?!" ulang Bapak, nadanya naik. Wajah dan matanya memerah seperti banteng mau ngamuk.

Aku tidak menyahut. Beranjak dari kebun kopi coklat belakang rumah, meninggalkan bapak yang belum selesai marah-marah. Aku berlarian sambil menahan sesak di dada, tidak tahu mau ke mana. Terpenting sejenak menjauh dari bapak.

Lari pagi kesiangan, mungkin itu yang tercetak di pikiran orang-orang saat berpapasan denganku. Bukan waktunya untuk peduli, pokoknya lari saja.

"Ririn! Ada apa?!"

Aku terus berlari, meski tahu benar itu suara Mas Agus. Aku baru ingat kalau kami ada janji bertemu.  Namun ancaman bapak kembali berdengung di telinga. Bapak akan membunuhku kalau aku sampai kepergok bersamanya.

Mas Agus mengejarku sambil terus memanggil-manggil. Berkat kakinya yang jenjang ia dengan mudah menyusul gerak kaki mungil ini. Digamitnya pergelangan tanganku, aku pun berhenti dan menoleh dengan napas yang masih ngos-ngosan. Matanya menangkap mataku. Tatap itu mengisyaratkan rasa bingung bercampur khawatir.

"Aku ... baik-baik saja, kok, Mas," ujarku, tidak meyakinkan.

Ia menggeleng, tahu benar kalau aku berbohong. Digenggamnya jemariku, melayangkan pandang sebentar, lalu membimbingku ke warung kopi Pakde Karjan. Warungnya masih sepi, syukurlah, karena itu artinya aku tidak perlu khawatir seseorang mengadu pada bapak. Tapi ini tidak benar. Tidak untuk situasi sekarang.

"Aku harus pergi, Mas," kataku, tak berdaya.

"Kamu ada apa? Kenapa buru-buru? Hari ini 'kan kita memang ada janji bertemu."

"Iya, aku nggak lupa, kok. Tapi tolong, Mas. Nggak untuk hari ini."
Mas Agus menghela napas. Ada seraut rasa kecewa yang coba ia tutupi.

"Pergilah, Rin. Meskipun Mas nggak mengerti masalahmu, dan nggak berhak memaksamu untuk cerita. Mas cuma mau kasih ini. Dan, selamat hari jadi kita yang kedua. Doakan uang Mas cepat terkumpul supaya tahun depan bisa lamar kamu."

***

Ibu mengernyit saat mendengar kata mati.

"Ngomong apa tho, Rin? Apa hubungannya pakai cincin pemberian Agus, ketahuan Bapak, dan mati?"

"Ibu kemarin nggak dengar? Bapak mau bunuh aku, kalau aku sampai ketahuan masih ketemuan sama Mas Agus."

Ibu langsung diam. Menerawang. Entah pikirannya mulai menjelajah ke mana. Yang jelas aku merasa ditinggal. Tak lama air mukanya berubah.  Aku mengendus sesuatu yang tidak mengenakan akan terlontar dari mulut ibu. Dan benar saja.

"Mulai sekarang jauhi saja laki-laki itu, Rin. Kalau bukan kamu, bisa jadi Agus yang celaka. Bapakmu bukan orang yang suka main-main dengan omongan."

Bagus! Kedua orangtuaku rupanya telah bersekutu. Mereka tidak ingin kami bersatu.

"Ririn nggak janji, Bu." Aku menyahut sambil menahan nyeri di dada. Bertanya pada Tuhan.  Kenapa situasinya malah jadi sulit saat aku dan Mas Agus ingin memantapkan hubungan?

"Tapi berjanjilah untuk menjaga diri dari amukan bapakmu," lanjut ibu.

Aku menelan liur. Melahap kata-kata ibu. Diiringi suara golok yang tengah diasah bapak yang tertangkap gendang telingaku. Terdengar ngilu. Ah, apa mungkin hidupku akan berakhir di tangan bapakku sendiri? Jika iya, maka sama halnya bapak mencoreng wajahnya sendiri dengan arang. Kematianku bakal jadi titik awal lunturnya rasa hormat orang-orang padanya.

Kopi dan kue klepon kesukaan bapak sudah disiapkan ibu pada nampan. Aku diminta mengantarnya ke pekarangan belakang. Ke tempat favorit bapak menghisap cerutunya, juga tempat biasa beliau mengasah golok kesayangan. Benda itu lagi. Terus terang aku merinding tiap mengingat atau menyebut benda itu.

Bapak tidak ada. Kuletakkan saja nampannya di kursi bambu. Untuk beberapa saat mataku menyapu, tetap tidak ketemu. Namun kilat golok yang ditimpa sinar mentari membuatku silau. Bapak pasti lupa tidak membawanya.

Entah keberanian dari mana, mungkin saja dorongan rasa penasaran, aku mendekati benda yang sudah seperti belahan jiwa bapak. Tanganku agak gemetaran saat meraihnya. Takut ketahuan oleh bapak.

Kuusap permukaannya dengan hati-hati. Tajam sekali. Pastilah sekali tebas lawan langsung tumbang. Asal bukan leherku saja yang jadi sasaran. Lalu mendadak ada yang menarik perhatianku. Di dekat gagangnya, tertera ukiran nama. Nama bapak, dan nama seorang wanita. Tapi bukan ibu.

"Anak lancang!" umpat bapak, mengampiriku. Matanya mendelik sampai mau copot. Aku pun dibuat gelagapan setengah mati. Sampai-sampai, golok dalam genggaman terlepas. Nyaris mendarat di jempol kaki.

"Si-siapa perempuan itu, Pak?"

"Itu nama almarhumah ibunya Agus. Pacar simpanan bapakmu dulu!" sahut ibu tiba-tiba dari arah belakangku.

"Sekalian bilang matinya kena bacok saya."[]

Minggu, 21 Januari 2018

Resensi: Penggerak Lahirnya Kesadaran Memperjuangkan Hak

Judul Buku: Germinal
Penulis: Emile Zola
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2016
Tebal Buku: 880 halaman
ISBN: 978-602-03-3533-9

Mengambil setting kota Prancis tahun 1860-an, Emile Zola menyoroti isu ketidakadilan yang terjadi di lingkungan pertambangan batu bara. Mengisahkan pekerja tambang yang  mempertaruhkan nyawa di setiap waktu, tetapi tidak pernah sebanding dengan upah yang diperoleh. Sungguh ironi, para penambang ini tetap bertahan dan menerima tanpa perlawanan apa-apa. Karena mereka pikir, hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa mengisi perut. Walau ujungnya tetap saja istri-istri mereka berutang lagi karena gaji yang didapat oleh suami dan anaknya tidak pernah cukup.

Mereka butuh perubahan! Baik pola pikir maupun perbaikan nasib. Tetapi siapa yang sanggup memulainya? Sedangkan para pekerja tambang bukan dari golongan berpendidikan. Tidak punya cukup keberanian dan kemampuan untuk memperjuangkan hak. Bahkan penambang tua bernama Bonnemort telah bekerja sejak usia belum genap 8 tahun. Di usianya yang mencapai 58, ia masih harus bekerja. Nasib itu pun diturunkan bak warisan pada putranya, Maheu, berikut cucu-cucunya. Akankah seperti itu terus? Turun-temurun menjadi pekerja tambang yang hidup selalu kekurangan?

Lalu harapan akan adanya perubahan itu muncul dengan hadirnya Etienne Lantier di tengah-tengah mereka. Ia memang bukan seorang berpendidikan, tetapi cukup cerdas untuk bisa melihat ketidakadilan yang terjadi di depan mata.

Penulis memulai semua kisah ini dengan lebih dulu menghadirkan Etienne. Tidak langsung sebagai seorang yang disegani, melainkan operator mesin rel kereta yang baru dipecat karena memukul bosnya. Satu hal yang mesti diingat mengenai Etienne, temperamennya berbahaya. Ia sudah seminggu terakhir hidup menggelandang mencari pekerjaan hingga akhirnya menemukan tambang batu bara Le Voreux.

Keberadaan Etienne tidak langsung diterima begitu saja di lingkungan penambang. Pria itu harus bertanya sana-sini pada bagian apa ia bisa bekerja. Sampai Maheu memutuskan untuk menempatkannya di bagian penarik gerobak. Karena penarik gerobak lama di kelompoknya baru meninggal (hal. 48-49).

Selanjutnya kesabaran Etienne benar-benar diuji. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia masuk ke kedalaman 500 meter lebih di bawah permukaan bumi. Dalam gelap yang pengap Etienne terbentur, tersandung berkali-kali hingga memar di kaki karena belum mengenal rute yang dilalui. Belum lagi untuk tugasnya sebagai penarik gerobak, pun butuh teknik khusus. Gerobak berisi batu bara dengan berat ratusan kilo itu mesti didorong menanjak. Ditambah jalur angkutan hanya berbentuk terowongan sempit dengan batu-batu bertonjolan di atasnya. Dalam kesulitan yang membuat muak, Etienne patut bersyukur karena gadis lincah bernama Catherine,  putri Maheu, mau mengajari.

Pada hari-hari berikutnya, perlahan tetapi pasti, Etienne mulai terbiasa dan mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan rutinitas yang semula terasa begitu berat (hal. 223). Lambat laun ia bisa menghirup debu batu bara tanpa sesak napas, ia sanggup melihat jelas meski dalam gelap. Rekan-rekan yang dulu sempat mengolok-ngolok, kini dibuat takjub dengan kecakapannya dalam bekerja. Dalam kurun waktu tiga minggu, ia disebut-sebut sebagai salah satu penarik gerobak terbaik di tambang itu (hal. 225-226).

Meski masih terhitung sebagai pekerja baru, Etienne bisa merasakan kegelisahan rekannya. Penderitaan,  kegeraman atas perlakuan bos yang seenaknya menurunkan upah. Padahal gaji sebelumnya saja sudah membuat mereka menderita. Ia jadi makin yakin dengan ide-ide di kepalanya. Walau begitu Etienne amat sadar akan pengetahuannya yang masih sedikit. Ia pun mulai membaca banyak buku, belajar banyak secara random. Pria itu juga telah berteman dan sering berdiskusi dengan mantan pekerja tambang yang memiliki gagasan yang sama dengannya.

Revolusi pun dimulai. Etienne berhasil membuat sejumlah orang memikirkan nasib, ketidakberuntungan mereka, lalu menular kepada yang lain. Dan gagasan akan pemogokan para pekerja tambang menjadi jalan yang dipilih. Langkah yang sangat berani karena konsekuensinya berdampak pada kelaparan massal berkepanjangan atau keadilan bagi semua.

Inilah persembahan masterpiece dari seorang Emile Zola. Sepadan dengan usaha riset penulis. Tak main-main, ia sampai terjun langsung ke lingkungan penambang dan hidup bersama-sama mereka.

Selain ketidakadilan dan pemogokan, Emile Zola juga menyematkan sindiran-sindirannya lewat gambaran kontras antara kehidupan si kaya dan si miskin, kurangnya pendidikan yang menjadikan manusia meniru sifat binatang, hingga popularitas yang melenakan.[]

(Pernah dimuat di harian Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2018)

Kamis, 11 Januari 2018

Resensi: Saatnya Intronspeksi Diri dalam Berbisnis

Judul Buku: Kembali ke Titik Nol
Penulis: Saptuari Sugiharto
Penerbit: Delta Saputra
Cetakan: Juli, 2016
Tebal Buku: 276 halaman
ISBN: 978-602-99999-9-0

SaIah satu hal yang menjadi tantangan bagi para pengusaha dalam menjalankan bisnisnya yakni menyeimbangkan antara ambisi dan keimanan. Meski bukan semua, tidak sedikit yang kadar imannya melemah akibat mengejar target. Inginnya dipandang sukses di mata sesama manusia. Segala macam cara dicoba entah kala itu Allah ridho atau tidak. Setelah sekian tahun terlena oleh pola bisnis yang dijalani, mendapat omzet besar tetapi di sisi lain utang malah makin tidak terkendali, barulah diri tersadar, "Saya sudah keliru. Saya telah menempuh jalan yang tidak diridhoi Allah."

Jalan keliru yang dimaksud adalah mengelola bisnis dengan modal berutang, dicicil beserta bunga yang berbunga. Sukar untuk dilunasi sehingga lambat laun melilit sekaligus mencekik si peminjam. Lebih dikenal dengan istilah riba. Sementara di dalam hukum Islam, ada larangan terhadap riba: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa" (QS. Al Baqarah 276). Dalam ayat lain QS. Al baqarah: 278-279 disebutkan bahwa: "Hai  orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.  Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."

Hadirnya buku ini bukan bertujuan untuk menghakimi,  namun lebih kepada mengajak berbisnis atau mencoba memulai kembali bisnis dengan cara-cara islami. Sebuah bisnis yang bisa dipertanggung-jawabkan di dunia maupun akhirat. Dilakoni dengan cara-cara bersih dan tentu hati menjadi lebih ringan dan tenang.

Mula-mula dengan memutuskan ikatan dari jerat utang riba yang diawali dengan taubat. Kembali pada Allah, memohon ampun dan bertekad melunasi utang serta meminta pertolongan-Nya. Memohon agar dimudahkan dalam menemukan solusi terbaik.

Buku ini telah merangkum banyak kisah inspirasi yang dapat menjadi pembelajaran bagi pembaca, terutama bagi yang sedang mengelola bisnis ataupun baru ingin memulainya. Di antaranya mengenai para pengusaha yang bertekad dan berjuang agar terbebas dari jeratan riba. Tentang mereka yang rela melepas aset-aset berharga dan memulai lagi dari nol demi mengejar keberkahan-Nya.

Meski aset-aset dan harta harus dijual, hingga dipandang bangkrut oleh tetangga, saudara, maupun teman. Yang penting tidak bangkrut di depan Allah. Rendah dalam pandangan manusia tidak apa-apa, asalkan kita mampu berdiri tegap di depan Allah karena patuh pada aturan-Nya (halaman 112). Ada pula kisah manusia-manusia tanpa utang.
Hidup tanpa utang, menghadirkan perasaan lega yang tak ternilai.

Merasa bebas karena tidak lagi memikirkan cicilan. Lebih fokus dalam berbisnis, bukan di utang (halaman 180-181).

Diuraikan dengan gaya bahasa yang segar, gaul, dan menggelora. Mengajak mawas diri sekaligus menggugah semangat. Sangat direkomendasikan bagi para pebisnis yang ingin introspeksi dalam berbisnis. Agar meluruskan kembali niat. Atau pola hidup yang mungkin masih perlu diperbaharui.[]

Resensi: Jiwa Kembar dalam Kasta Sosial Berbeda

Judul Buku: Kemolekan Landak
Penulis: Muriel Barbery
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Februari 2017
Tebal Buku: 364 halaman
ISBN: 978-602-03-3827-9

Sebuah novel filsafat. Yang alurnya berpusat pada pemikiran-pemikiran mendalam tokoh sentral di dalam cerita. Tak jarang menyajikan kalimat bernada sinis, tajam; sarkasme yang menggelitik. Namun di situlah letak daya pikatnya. Dan, landak, tentu bukan bagian dalam karya ini. Sebab ia merupakan bentuk kiasan dari seorang janda bernama Renee, sang tokoh utama. Wanita paruh baya yang bekerja sebagai penjaga gedung apartemen elit.

Ia memang memiliki pesona, keanggunan seekor landak: dari luar berperisai duri, benar-benar benteng, tapi di dalamnya ia juga sesederhana landak, hewan kecil yang secara keliru disangka acuh, liar, sendirian dan benar-benar molek (halaman 151).

Renee, memainkan perannya dengan sangat baik. Ia menciptakan kesan di mata orang-orang sebagai penjaga gedung pada umumnya: si tua yang jelek, judes, kurang berpendidikan, tetapi dapat diandalkan. Ia tidak menarik perhatian dan keberadaannya seolah tidak penting. Meski sebenarnya, andai mereka semua tahu, otaknya lebih cerdas ketimbang para penghuni apartemen dan punya selera bagus terhadap seni. Ia telah membaca banyak buku dari karya-karya sastra sampai dengan filsafat. Melahap tuntas karya Karl Marx, juga Anna Karenina karangan Leo Tolstoy hingga menamai kucingnya 'Leo'. Kebiasaan yang tanpa ingin orang lain tahu.

Melalui sudut pandang Renee, penulis  menampakkan kesenjangan yang terjadi antara kaum borjuis dan rakyat jelata di suatu wilayah di Prancis. Tepatnya di lingkungan gedung apartemen. Tentang bagaimana kaum kelas bawah memandang golongan kelas atas, pun sebaliknya. Bagi orang kaya, menurut Renee, rakyat kecil tampaknya  merasakan emosi manusia dengan intensitas yang lebih  lemah dan dengan rasa acuh lebih besar, karena tidak mempunyai oksigen uang serta keluwesan berteman.

Belum lagi dalam hal fisik. Terhadap yang cantik, orang memaafkan segalanya, bahkan tingkah-tingkah seronoknya. Sebaliknya, bagi yang kurang beruntung dalam tampilan tubuh, kecerdasan tidak pernah jadi kompensasi penyeimbang. Dan malah diperlakukan bagai mainan untuk mempertajam kontras. Yang buruk selalu menjadi tertuduh (halaman 39).

Selain Renee sebagai tokoh sentral, ada pula Paloma Josse, putri dari keluarga Josse (anggota parlemen yang sebentar lagi diangkat sebagai Ketua Dewan) yang juga tinggal di apartemen mewah itu. Gadis kecil eksentrik berumur 12 tahun yang berniat bunuh diri di usia 13 tahun demi melarikan diri dari masa depan borjuisnya. Kehidupan mendatang yang baginya telah bisa ditebak: terlahir dari keluarga kaya, orangtua kaya, dan sudah pasti ia pun akan kaya. Bukan hanya bunuh diri, ia bahkan berencana untuk membakar apartemen.

Segala keberuntungan dan kekayaan itu, ia tahu persis bahwa tujuan akhir hidupnya adalah akuarium (halaman 9). Hidup dalam kemewahan namun tak bisa membaur dengan alam. Bukan kehidupan macam itu yang ia harapkan.

Paloma bukannya bodoh, ia justru sangat cerdas. Namun seperti halnya Renee, ia sebisa mungkin berusaha mengurangi kemampuannya. Paloma tidak mau menarik perhatian karena dalam keluarganya tempat kecerdasan merupakan nilai tertinggi. Dan bagi anak yang  berbakat, ia tidak akan bisa santai.

Kemiripan ini, yang kemudian membuat Renee dan Paloma menyadari sesuatu kala mereka bertemu. Bahwa masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang tersimpan. Rahasia di balik kulit luar. Aura cerdas, begitu Paloma menyebutnya. Di sinilah, pertemuan dua manusia beda kasta, dengan jarak usia puluhan tahun, tetapi memiliki jiwa kembar. Dua jiwa yang saling menemukan, mendeteksi, untuk kemudian saling menyembuhkan.  Meski pada bagian penutup cerita, pembaca dihadapkan pada sesuatu yang mengejutkan. Tragedi yang mengguncang.[]

(Pernah dimuat di harian Singgalang, Minggu, 17 September 2017)