Sabtu, 29 Juli 2017

Resensi: Pengorbanan yang Membawa Keberuntungan

Judul Buku: Beauty and the Beast
Penulis: Madame de Villeneuve
Penerbit: Qanita
Tebal Buku: 244 halaman
Cetakan: I, Februari 2017
ISBN: 978-602-402-054-5

Sejak usia dini, kita telah diperkenalkan dengan dongeng yang beragam baik melalui penuturan langsung dari ibu, buku-buku, maupun tayangan televisi. Bukan hanya dari dalam negeri, dongeng luar negeri pun turut mengisi kenangan masa kecil. Salah satu yang tentu lekat di ingatan adalah kisah Beauty and the Beast. Ketika si cantik Belle, harus bersedia menikah dengan Beast si buruk rupa demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Siapa sangka, pengorbanan Belle justru membawa pada keberuntungan luar biasa. Tak heran, kisah yang syarat akan pesan moral ini berulang kali diadaptasi menjadi serial televisi hingga layar lebar. Terbaru di tahun ini, Walt Disney merilis versi live action-nya yang diperankan oleh Emma Watson.

Sebuah novel karangan Madame de Villeneuve ini, diakui para peneliti sastra sebagai versi tertua Beauty and the Beast. Meski hingga kini versi ringkas yang ditulis ulang oleh Leprince yang paling dikenal dunia (halaman 237-238).

Diceritakan tentang seorang Saudagar dengan kekayaan berlimpah. Meski istrinya telah tiada, ia hidup bahagia bersama keenam putra dan enam putrinya. Namun tanpa disangka-sangka nasib buruk datang bertubi-tubi. Rumah beserta aset berharga hangus terbakar. Setelahnya bisnis sang Saudagar mengalami kerugian, kapal-kapal hancur diserbu bajak laut. Ia bahkan dikhianati dan ditipu oleh para pegawainya (halaman 9-10).

Dua tahun hidup dalam kemalangan, harapan baru itu menyapa. Kabarnya, salah satu kapal beserta barang dagangan milik Saudagar merapat dengan selamat di pelabuhan. Namun naas, yang terjadi setelahnya malah jauh dari harapan. Para mitra yang mengira dirinya telah meninggal dunia, membagi-bagikan isi muatan kapal (halaman 20).

Tak mendapat hasil apa-apa, ia pun memutuskan untuk kembali. Pada perjalanan pulang inilah sang Saudagar bertemu dengan sosok Beast. Ia singgah sejenak di istana milik sang monster, beristirahat dan menyantap makanan di sana, lalu tanpa izin memetik sekuntum mawar di lorong istana untuk memenuhi janjinya pada Belle. Hal ini yang kemudian memicu kemarahan Beast. Hingga sebuah kesepakatan pun terjadi. Saudagar itu akan terbebas dari kematian apabila ia menyerahkan salah seorang putrinya sebagai penebus kelancangannya.

Setiba sang Saudagar ke rumah, ia menceritakan segala hal yang menimpanya. Termasuk pertemuan dan perjanjian gila bersama Beast. Mendengar kabar buruk yang dituturkan sang ayah, tak satu pun dari saudari-saudari Belle yang sudi melakukan pengorbanan mulia itu. Mereka merasa Belle-lah yang paling layak bertanggungjawab atas apa yang menimpa ayahnya. Terlebih selama ini mereka menyimpan kecemburuan pada gadis itu. Ya, Belle dengan kecantikan dan kebaikan hatinya memang membuatnya lebih menonjol dan disukai siapa saja.

Belle pun setuju. Ia mengakui bahwa dirinyalah penyebab malapetaka ini. Tidak adil bila saudaranya harus menderita karena kesalahannya. Permintaan Belle kala itu memang tampak sepele, hanya minta dibawakan mawar pada musim panas. Siapa yang menduga kalau ia mesti mendapat hukuman begitu kejam? (halaman 41).

Membayangkan hidup bersama sesosok monster tentu terasa mengerikan. Namun Belle berhasil melaluinya. Banyak hal tidak terduga yang ia alami. Termasuk menyadari bahwa Beast tidaklah semengerikan yang terlihat. Ia berhati lembut dan sangat sopan terhadap Belle. Hingga di suatu malam dan malam berikutnya Belle bermimpi bertemu pemuda tampan. Ia mulai bertanya-tanya, mungkinkah pemuda itu juga tawanan Beast, sama seperti dirinya?

Sebagaimana dongeng pada umumnya, kisah ini memberikan pelajaran berharga bagi pembaca. Lewat tokoh Belle, pembaca akan semakin sadar betapa pentingnya berbakti kepada orangtua, juga kerelaan untuk berkorban demi orang yang disayangi. Belle bukan hanya cantik secara fisik, tetapi juga memiliki hati yang sangat mulia. Sungguh tak akan merugi seseorang yang berbudi baik seperti itu, sebab akhirnya kebaikan akan membawa seseorang pada kebahagiaan tak terhingga.[]

(Pernah dimuat di harian Radar Sampit pada Minggu, 2 Juli 2017)

Selasa, 25 Juli 2017

Resensi: Pencarian Jati Diri Sang Gadis Tembakau


Judul Buku: Genduk
Penulis: Sundari Mardjuki
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2016
Tebal Buku: 232 halaman
ISBN: 978-602-03-3219-2

Sebuah novel bergaya memoar ini, disusun oleh Sundari Mardjuki berdasarkan hasil riset mendalam mengenai keluarga petani tembakau di desa Temanggung, Jawa Tengah, disertai tradisi masyarakatnya di era 70-an. Tokoh utama-lah yang nanti membawa pembaca pada kisah berharga, memetik hikmah dari fase hidup yang berhasil dilalui sebagai "gadis tembakau".

Gadis muda yang lebih akrab disapa Genduk, lahir dalam keluarga dan lingkungan petani di lereng Gunung Sindoro, Desa Ringinsari, Temanggung. Dibesarkan seorang diri oleh Yung (ibu) yang berwatak dingin dan keras, tanpa sosok Pak'e (bapak) di sisinya.

Genduk tidak pernah tahu seperti apa rupa bapaknya, namun ia bisa membayangkannya berkat penuturan Kaji Bawon, bahwa Pak'e memiliki perawakan tinggi dan gagah. Kulit bersih, tangannya halus, sehalus tutur katanya. Berbeda dengan Yung yang bertulang pipi tinggi dan menonjol,  terbalut bercak kehitaman akibat dijerang sinar matahari gunung (halaman 18-19).

Kala itu, Desa Ringinsari sedang musim tembakau. Segala yang dimiliki petani dipertaruhkan karena jenis tanaman ini telah menguji nyali petani sejak awal ladang dipaculi, ditanami, hingga masa panen. Selain butuh pupuk, benih yang ditanam harus ekstra dijaga dari gulma. Bila bibit mati, maka harus segera diganti dengan bibit baru (halaman 23).

Pupuk dan stok bibit yang memadai memerlukan biaya yang banyak. Itu berarti siapa punya banyak uang, dia yang akan bertahan. Sementara mereka yang keuangannya sulit, ketar-ketir. Tak ada jalan kecuali meminjam uang orang lain bahkan lari ke rentenir. Bila hasil penjualan tembakau baik, hutang bisa tertutupi. Sebaliknya, bila harga tembakau anjlok, petani akan semakin sulit karena terlilit hutang.

Tradisi. Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa penulis juga mengangkat adat kebiasaan turun-temurun masyarakat Jawa. Di awal musim memanam tembakau (hari wiwitan), penduduk sekitar lereng Sindoro melakukan ritual Among Tebal, tradisi memohon pada Gusti Allah agar panen melimpah.

Berarak menuju mata air Tuksari, semua orang berkumpul membawa aneka tumpeng: tumpeng putih, tumpeng kuning, dan tumpeng hitam. Ada ingkung ayam kampung, irisan telur dadar, buah-buahan, dan jajanan pasar (halaman 46-47).

Waktu terus melaju. Tumbuhan tembakau mulai kuat. Batangnya semakin besar dan kokoh. Setiap lembar daunnya adalah harta yang tidak ternilai, yang menjadi penentu hidup petani selanjutnya. Sembilan bulan hidup dalam keprihatinan akan ditentukan nasibnya dalam tiga bulan ke depan. Apakah daun-daun itu akan memberi laba atau justru malapetaka (halaman 66).

Pada masa panenlah para gaok/tengkulak melancarkan aksinya. Mempermainkan harga tembakau, mengakali petani, hingga Genduk terpaksa berurusan dengan gaok licik bernama Kaduk demi menyelamatkan penjualan tembakau ibunya.

Konflik semakin menderas, tak terbendung. Banyak fakta dan kejadian pahit yang mesti ia hadapi. Termasuk permasalahan petani yang memuncak ketika salah seorang warga bunuh diri karena tak kuat dipermainkan gaok. Dibarengi dengan upaya mencari jejak bapaknya, serta masalah demi masalah yang mesti ia selesaikan, di sinilah karakter Genduk semakin terbentuk.

Secara keseluruhan, tokoh Genduk mewakili sosok perempuan belia tangguh, cerdas, dan tanggap yang tidak hanya mampu membawa pengaruh besar bagi keluarga, namun juga lingkungannya. Keteguhan hati serta keberaniannya dalam mengambil sikap membawa warga pada keadilan yang pantas mereka dapat. Memberi pelajaran bahwa seseorang tumbuh bukan sekadar untuk mengejar pengakuan, namun mencari keadilan, kebenaran, yang bahkan di era saat ini makin abu-abu.[]
***

(Pernah dimuat di Harian Singgalang, Padang, pada 2 April 2017)