Jumat, 19 April 2013

Review Novel


Everything for You
Karya: Indah Hanaco
Kala cinta mulai menyapa dua insan yang saling memuja, Livana dan Desmond. Kisah cinta mereka, awalnya memang sangat manis, hingga berujung pada pernikahan tanpa restu dari keluarga Desmond.

Mulanya semua baik-baik saja. Bahkan, Liv merasa segalanya terlalu indah, ia merasa menjadi manusia paling beruntung bisa bersanding dengan Desmond.

Namun lambat laun, konflik mulai mewarnai keharmonisan rumah tangga mereka. Sifat Desmond yang pencemburu menjadi percikan-percikan kecil yang berubah menjadi api yang kian membesar. Hatinya mudah terbakar, hingga membuatnya tak segan-segan melukai hati sekaligus fisik wanita yang begitu dicintainya.

Rasa cintanya pada Liv yang luar biasa, bahkan membuatnya tak ingin siapa pun merebut perhatian Liv darinya. Termasuk calon buah hati mereka sekalipun. Desmond melarang Liv untuk hamil, hingga menyuruh sang istri untuk meminum pil mencegah kehamilan.

 Liv tak mengerti dengan jalan pikiran Desmond, setalah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti meminum pil. Desmond mulai curiga, dan kecurigaannya pun terbukti. Ia marah besar, sangat garang dan mengerihkan. Ia meninju pelipis Liv hingga wanita itu tersukur dan cidera. Tulang hidungnya patah.Tragedi mengerikan itu membuka jalan bagi Liv untuk memutuskan berpisah dengan Desmond.

Kehamilan. Rupanya, ia telah mengandung calon bayi dari mantan suaminya dan hal itu disadari setelah mereka berpisah.

Neo, jagoan cilik kebanggaannya. Menjadi jembatan pertemuan Liv dengan pria lajang, tampan, mapan, dan lembut. Keanu, seorang dokter gigi.

Keanu adalah pemuja Neo sejak kali pertama bertemu. Ia begitu menyukai anak kecil itu. Bukan hanya Keanu, tapi hampir semua orang yang melihat anak itu pasti akan langsung menyukainya. Neo mendapat perhatian dan kasih sayang dari banyak orang, kecuali Desmond, ayah kandungnya sendiri.

Keanu, dia bukan hanya menyayangi dan jatuh hati pada Neo, tapi juga Liv.

***

Kisah dalam novel ini, bisa terjadi pada siapa saja. Dan mengingatkan kita, bahwa rasa cemburu yang berlebihan bisa menjadi bumerang  tak terelakan dan berbahaya. Cinta yang cenderung ingin mengatur dan menguasai. Menyadarkan pembaca, bahwa cinta yang sesungguhnya, bukan seperti itu. Cinta yang benar, adalah memberi kebebasan pada pasangan untuk bergaul, berkarir, dan menggapai apa yang mereka inginkan. Bukan malah mengekang habis-habisan.

Sekian uraian atau gambaran singkat mengenai novel Everything for You karya mbak Indah Hanaco. Sebenarnya, masih banyak kisah-kisah manis, mengejutkan, dan juga mengharukan dalam novel ini. So, buat yang penasaran silahkan di serbu toko buku, hehehe…
Kalo aku sih, dapet free dan dikasih tanda tangan dari penulisnya. Thanks mbak Indah, novelnya kereeen. Saya ucapkan selamat, dan semoga nama serta karya-karyamu makin berkibar. Sukses selalu untuk karirnya. ^_^

Selasa, 16 April 2013

Cerpen_ Aku, Kau, dan Senja Kita


Memandang langit senja dengan semburatnya yang menjingga. Ketenangan. Ya, ada sebuah ketenangan yang terlahir dari sana. 
Kembalinya sang mentari ke peraduan, langit jingga yang sedikit demi sedikit berubah mengelabu, menghadirkan sejumput kenangan lamaku bersamanya.

***

“Apa yang kamu suka dari senja?” tanya Trias, di suatu sore.

“Semuanya. Aku suka sama corak warnanya, ketenangannya, apa lagi ada pangeran tampan yang menemin aku menikmati senja.”

“Kamu ini. Pintar ngerayu juga, ya.” Kami pun tertawa bersama. Kebahagiaan yang tercipta dengan sangat wajar, antar dua insan yang sedang dilanda asmara.

“Kalo kamu sendiri, apa yang bikin kamu betah duduk lama ngeliat matahari terbenam?”
 

“Aku suka dengan penyukanya. Dia cantik, baik, dan mempesona. Keindahan senja selalu terpancar dari setiap lekuk wajahnya.”

Aku terdiam sesaat. Menatap lekat dua bola mata hitam kecokelatan milik pemuda berkontur wajah tirus. Mencoba menyelami lebih dalam bias matanya yang tajam namun sesekali dapat terasa begitu teduh.

Sherin dan Trias. Kutup utara dan selatan. Siapa yang menyangka kalau kami bisa pacaran. Aku yang kurang mampu bersosialisasi dan menutup diri, sementara Trias adalah cowok yang senang bergaul dan punya kenalan sana-sini. Dan makin tenar lagi sebab sering melanggar aturan sekolah.

Ya, kami memang berbeda spesies. Tapi semenjak aku mengenalnya lebih jauh, atau lebih tepatnya semenjak kami resmi berpacaran, aku melihat sisi lain dari dirinya. Trias bukan cowok urakan dan berwatak keras yang selama ini kulihat, ia bisa bersikap sopan, perhatian, dan lembut terhadapku.

“Pulang, yuk. Aku takut ibu khawatir dan nyariin aku.” Kami pun beranjak dari bibir pantai dan bergegas pulang.

“Sherin, kok baru pulang jam segini? Kamu dari mana aja, Nak?” tanya ibu, dengan seraut wajah cemas, begitu melihatku memasuki pekarangan rumah.

“Dari… kerja kelompok, Bu. Tempat temen.” Aku terpaksa berbohong, sebab kalau aku bicara jujur, ibu pasti akan memarahiku.

“Lain kali kalo mau kerja kelompok, di sini aja , ya. Supaya ibu nggak ketar-ketir mikirin kamu. Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu sana. Habis itu solat.”
 Aku hanya mengangguk kemudian masuk kamar.

Seusai sholat, aku duduk termenung di atas sajadah. Baru kali ini aku berbohong pada ibu, dan rasanya begitu menyiksa. Ya Allah, maafin Sherin.

Selesai melipat sajadah, kuraih ponselku karena layarnya berkedip-kedip. 1 pesan masuk. Trias.

“Sayang, kamu ada uang nggak? Aku pinjem dulu ya, 50ribu aja. Aku tunggu di simpang jalan.”

Aku mengernyitkan kening. Baru kali ini Trias berani meminjam uang padaku. Sebegitu pentingkah?
Kuambil selembar uang lima puluh ribuan dari dompetku, kemudian keluar rumah dan mengayunkan langkah ke persimpangan gang. Trias sudah menungguku di sana.

“Ini,”

“Makasih ya. Maaf ngerepotin kamu. Nanti kalo uang bulananku udah nyampe, pasti aku balikin.”

“Nggak usah, aku ikhlas, kok. Aku tau gimana sulitnya jadi anak kos.”

Thanks, honey. Kamu pengertian banget.”

Baru sebulan kami menjalin hubungan, Trias mulai kembali ke sifat aslinya. Bolos sekolah, taruhan, dan berani merokok di depanku. Kupikir dia sudah berubah, namun ternayata aku salah menilainya. Dengan segenap kesabaran, aku menjemputnya setiap pagi agar ia mau berangkat ke sekolah. Kami sedang  menghadapi latihan ujian nasional, dan aku tidak ingin kalau Trias tidak lulus karena ulahnya sendiri.

“Rin,  nonton, yuk,” ajak Alya, teman sebangku-ku.

“Nonton? Berdua?”

“Ya enggaklah. Tapi bertiga. Gue mau kenalin lo sama sepupu gue. Dikta.”

Alya menarik lenganku menuju pintu bioskop. Seorang cowok berpostur tubuh tinggi dengan kemeja biru muda yang begitu serasi dengan kulit putihnya, nampak memusatkan pandangannya pada kami dengan memegang 3 lembar tiket. Jadi ini sepupunya Alya, cakep amat.

***

“Rin, kok lo masih mau aja sih, pacaran sama Trias. Dia itu nggak cocok sama lo. Dan menurut gue, lo bisa dapet yang lebih daripada Trias.”

“Maksud lo apaan sih, Al. Kita baik-baik aja, kok,”

“Baik dari sisi mana? Lo buka deh mata lo lebar-lebar. Udah berapa kali Trias pinjem duit sama lo, udah berapa kali dia ngajakin lo bolos, udah berapa kali dia berani ngomong kasar ke elo.”

“Gue ikhlas kok ngadepin dia. Trias itu udah bikin gue punya banyak temen. Dia juga yang ngajarin gue kalo masa muda itu, masanya buat have fun.

“Lo selalu aja nilai Trias dari sisi baiknya. Gue sebagai temen cuma bisa kasih saran, mending lo udahan aja deh sama Trias. Dan lo coba buka hati lo buat sepupu gue. Dia orangnya baik, kok, cerdas, dan juga royal. Yang pasti dia lebih segala-galanya dibanding Trias.”

“Kok, lo ngebet banget sih, maksa gue buat putus. Sebagai temen mestinya lo support gue dong, Al. Bukan kayak gini,” balasku, kesal.

 “Terserah deh, Rin. Gue nggak tau lagi gimana cara ngerubah pola pikir lo. Lo udah buta. Sorry, gue balik duluan.”

Alya meninggalkanku sendirian di halaman depan perpustakaan. Sepertinya dia benar-benar kesal padaku. Aneh, mestinya aku yang marah. Siswa lain juga sudah mulai meninggalkan wilayah sekolah. Saat pikiranku mulai menerawang, mencoba mencerna semua kata-kata Alya tadi, Trias duduk di sebelahku sambil menghisap sepuntung rokok yang tinggal setengah bagian.

“Kamu ke mana aja, kemaren? Bel pulang bunyi udah langsung kabur aja. Di telpon juga nggak aktif,”

“Kemaren aku pergi nonton sama Alya, sama sepupunya juga. Jadi hape sengaja aku matiin.”

“Cowok?”

Aku mengangguk.

“Udah aku tebak. Kamu jangan terlalu akrab deh sama Alya. Dia itu nggak baik buat hubungan kita. Aku yakin, dia pasti mau nyomblangin kamu sama sepupunya. Alya ‘kan dari dulu emang kurang suka sama aku.”

“Kamu bisa nggak, untuk nggak ngerokok depan aku. Aku paling nggak bisa ketemu sama asap rokok.” Aku mendengus kesal, sambil menutup hidungku dengan sapu tangan.

“Sorry. Aku lupa.” Trias meletakkan sisa putung rokoknya ke tanah lalu menginjaknya.

“Aku nggak ngerti deh sama kamu. Kamu tuh sekarang mulai berubah, nggak kayak Trias diawal-awal kita pacaran. Sekarang malah mulai ngelarang-ngelarang aku buat berteman.”

“Loh, aku kan pacar kamu. Jadi wajar dong. Soal perubahan sifat aku, ya inilah sifat asliku. Kamu nggak suka?”

“Aku nggak suka. Aku suka kamu yang lembut, perhatian, dan nggak ngekang aku kayak sekarang ini.”

“Ngekang? Aku cuma pengen yang terbaik buat hubungan kita, itu aja, kok. Kamu itu yang berubah. Udah mulai nggak peduli dan nurut sama aku. Atau jangan-jangan, kamu udah ada perasaan lagi sama sepupunya Alya?” tuding Trias.

Kami terus bercekcok mulut. Trias menuduhku sudah mulai jatuh hati pada sepupu Alya. Kata-kata kasarnya pun turut menggema di telingaku. Dan pertikaian kami berakhir dengan sebuah kata. PUTUS.

“Apa? Putus? Kamu mutusin aku cuma gara-gara cowok nggak jelas itu. Cowok yang baru kamu kenal kemaren.”

“Cukup ya, Trias. Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya sama dia. Aku udah nggak kuat ngadepin kamu.”

“Oke, fine. Kita udahin sampe sini. Dan aku pastiin, suatu saat kamu bakal nyesel sama keputusan ini. Bye.

***

Berat rasanya membuka kelopak mata yang terlanjur bengkak. Badanku pun terasa malas untuk digerakkan. Aku tak ingin sekolah hari ini. Teman-teman pasti akan heboh melihat monster bermata sembab. Tapi bagaimana dengan ujian sekolahku? Haruskah aku melewatkannya begitu saja, dan harus mengulang di tahun depan? Ah, pilihan yang sangat bodoh.

Kukompres kelopak mataku dengan air hangat, lalu meminjam kacamata kak Vey agar sembabku tak terlalu nampak jelas.

Sayang, semua tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Para sahabatku sangat jeli terhadap kondisiku. Begitu bel pulang berbunyi, mereka langsung menyergapku dengan berbagai pertanyaan. Aku hanya bisa pasrah, dan menjawab pertanyaan mereka sekenanya.

Trias dan gengnya melewati ruang kelasku. Sesaat, matanya menatapku dingin melalui kaca jendela, kemudian membuang pandangan dan kembali berbincang dengan teman-temannya. Luka. Situasi seperti ini sungguh menyiksa. Kenapa harus seperti ini? Tidak bisakah kita tetap berteman? Aku hanya bisa menatap punggungnya hingga menghilang dari balik tembok.

***

“Rin, aku masih sayang sama kamu. Jujur, selama ini aku cuma pura-pura cuek ke kamu. Tapi hasilnya nol, Rin. Aku tetep aja nggak bisa move on. Kamu juga ngerasain hal yang sama, kan? Gimana kalo kita ulang dari awal? Aku janji, aku nggak akan ngecewain kamu. Aku janji, aku nggak akan ngatur-ngatur kamu lagi. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk bikin kamu tersenyum. Kamu mau kan, kita balikan lagi?”

Aku melihat kesungguhan dari mata Trias. Tapi aku bisa apa. Aku takut kecewa lagi, meski di dalam hatiku nama Trias masih terukir dengan jelas.  

“Hubungan kita itu ibarat vas bunga yang udah pecah. Meski kita coba buat ngerekatkan lagi sama lem, hasilnya nggak akan sempurna.”

“Tapi kita bisa beli vas yang baru kan, Rin? Plis, jangan tolak permintaanku yang satu ini. Aku masih bisa ngerasain kok, kalo kamu juga masih sayang sama aku.”

“Sekarang segalanya beda, Yas. Hatiku udah jadi milik orang lain. Aku udah punya pacar. Bukan sepupunya Alya. Dia kakak tingkatku.”

Trias mulai bungkam. Sepertinya, dia akan menyerah. Dan itu akan membuat segalanya menjadi lebih baik.

“Aku nggak peduli. Mau kamu udah punya pacar, tunangan, atau suami sekalipun aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu, Rin. Cuma kamu. Aku tau, aku udah bikin banyak kesalahan ke kamu. Makanya aku mau tebus semua itu. Terima uang ini. Ini uang yang udah kupinjem sama kamu selama kita pacaran, totalnya lima ratus ribu.” Trias meraih jemariku dan menyelipkan amlop pada genggamanku.

“Tapi, Yas…”

Trias tetap memaksaku menerima uang itu. Sebelum beranjak dari beranda rumahku, Trias berjanji, akan terus menungguku. Asalkan bisa bersamaku, ia rela bila harus menjadi yang ke-dua, bahkan yang ke-tiga 
pun ia rela.

***

“Serius banget ngeliatin langit senja. Lagi mengenang sang mantan ya?” Ledek seorang pria yang kini duduk di sebelahku.

“Iya, nih. Sang mantan yang sekarang naik derajat jadi pendamping hidup aku.” balasku, dengan senyuman yang tak kalah jahil.

-End-