Rabu, 30 Oktober 2019

Resensi: Tekad Setegar Karang Para Anak Badai





Judul Buku: Si Anak Badai
Penulis: Tere Liye
Co-author: Sarippudin
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Agustus 2019
Tebal Buku: 322 halaman
ISBN: 978-602-5734-93-9


Si Anak Badai merupakan buku keenam dari serial anak nusantara yang ditulis oleh Tere Liye. Karena isinya bukan kelanjutan cerita dari buku sebelumnya. Maka meskipun berseri, dan memiliki nuansa yang mirip, buku ini tetap bisa dinikmati langsung oleh siapa pun, bahkan oleh peminat baru serial anak nusantara.

Ada pun pada karyanya kali ini, Tere Liye menyuguhkan sebuah kisah tentang potret kehidupan masyarakat di kampung Muara Manowa. Sebuah perkampungan yang dibangun di atas muara sungai, dengan kapal-kapal kecil sebagai alat transportasi. Demi memudahkan para warga dalam berlalu-lalang, hidup bertetangga, serta penghubung dengan daratan,  dibangun jembatan berbahan dasar papan ulin. 

Membaca buku ini, nantinya akan mengundang pembaca untuk bernostalgia kembali dengan kenangan akan keseruan masa kanak-kanak. Tentang kepolosan, keberanian, kesetiakawanan, tekad, keisengan, cinta monyet, gurauan, serta sederet kejadian khas dunia anak-anak. Disuguhkan pula konflik sosial yang tengah terjadi di kampung tersebut.

Adalah Za, Awang, Ode, dan Malim. Empat sekawan yang akhirnya mendapat julukan geng Anak Badai. Keempat bocah inilah yang akan mengantarkan pembaca pada petualangan seru. 

Kisahnya dimulai dengan kebiasaan anak-anak kampung Manowa yang duduk di bale, menunggu kapal-kapal besar lewat mengangkut penumpang. Mana kala kapal mulai mendekat, mereka akan melompat, berenang ke arah kapal, lalu melambai-lambaikan tangan. Penumpang yang sudah hapal dengan kebiasaan anak-anak tersebut, akan melemparkan koin. Membuat mereka timbul tenggelam berebut koin yang berjatuhan. 

Cerita pun berlanjut. Zakaria, atau yang akrab disapa dengan Za, yang merupakan tokoh sentral dalam buku ini. Ia memiliki seorang Mamak yang meski terlihat galak, sebagaimana sifat seorang ibu pada umumnya, sebenarnya mamak adalah sosok ibu yang penyayang.

Hal ini terlihat ketika ia ingin menebus rasa bersalahnya karena terlalu fokus menjahit baju pesanan warga hingga seolah mengabaikan keluarga. Mamak berjanji akan mengajak Za beserta kedua adiknya: Fatah dan Thiyah, ke pasar terapung dan membebaskan mereka membeli apa saja. Agar mereka tahu, Mamak sungguh menyayangi mereka bertiga (halaman 133). 
Za pun patut bersyukur memiliki bapak yang bijaksana. Nampak dari sikap bapak yang tetap santai meski Mamak memasak makanan yang tidak sesedap biasanya. Hambar lebih tepatnya. Bukan amarah, bapak justru memuji masakan istrinya. Bukan dari segi rasa, bapak menilai pengorbanan Mamak dalam menyajikan makanan. Bagaimana Mamak menyempatkan diri untuk memasak di sela-sela kesibukannya menjahit belasan baju kurung grup rebana dalam tempo dua minggu saja. 

Keceriaan Za bersama tiga sahabatnya, kegiatan sehari-hari Za sekeluarga yang  sederhana namun hangat, suasana kampung Muara Manowa yang penuh warna, seketika saja terusik oleh kehadiran tamu tak undang. Bajak laut, begitu Za dan kawan-kawan menyebutnya. Pak Alex, pria bertubuh gempal, datang membawa kabar yang kontan membuat riuh warga setempat. Kabar tentang akan dilaksanakannya pembangunan pelabuhan. Satu keputusan besar diambil tanpa kesepakatan atau persetujuan lebih dulu dari warga kampung, lantas menyulut amarah serta protes dari orang-orang. Terutama Pak Kapten, sosok yang paling disegani para warga kampung Muara Manowa. Terbayang sudah nasib mereka yang harus angkat kaki dari tanah kelahiran sendiri.

Pertemuan pertama antara Pak Alex dan warga tidak mencapai kesepakatan. Di lain kesempatan, Utusan Gubernur yang datang berkunjung dengan misi yang sama.
Ia telah berkeliling, melihat rumah-rumah, sekolah, hingga masjid, dan menilai bahwa kampung ini tidak layak huni. Ia mengatakan kalau bangunan sekolah di sana tidak lebih baik dari kandang kambing di kota. Setelahnya, beliau menjanjikan banyak hal manis untuk kemajuan kampung Manowa. Dan lagi, mereka semua akan dipindahkan, dibuatkan rumah, sekolah, dan juga masjid yang lebih layak (halaman 148-149). 

Pertemuan kedua juga berakhir dengan kacau karena warga sama sekali tidak tergiur oleh janji-janji yang belum tentu benar. Namun sayangnya, penolakan warga tidak berarti apa-apa. Proyek pelabuhan akan tetap dilaksanakan. 

Di sinilah tekad dan keberanian geng Anak Badai: Za, Ode, Awang dan Malim diuji saat mereka berjuang menggagalkan pembangunan pelabuhan. Strategi apa yang akan mereka ambil, kendala apa yang harus mereka hadapi, nantinya akan terungkap setelah pembaca menyimak buku ini hingga halaman terakhir. 

Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa diambil lewat buku ini. Kita bisa belajar tentang kegigihan, kesetiakawan, keberanian, dan keteguhan dalam mempertahankan apa yang sudah menjadi hak kita. Dari tokoh Za, penilaian kita selama ini mungkin akan berubah. Bahwa tidak hanya anak kota, anak-anak yang tumbuh di perkampungan terpencil pun tetap bisa mempunyai nalar dan kecerdasan dalam bertindak.[]

Selamat berburu bukunya dan bersiap untuk berpetualang bersama geng Anak Badai yang kece badai. ^_^