Rabu, 30 Agustus 2017

Resensi: Keteguhan Perempuan Memeluk Rasa Sakit

Judul: Tentang Kamu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Oktober 2016
Tebal Buku: 524 halaman
ISBN: 9786020822341

Rasa sakit sudah pasti pernah hinggap di hati siapa saja. Bisa karena situasi yang tidak diharapkan (nasib buruk), dikecewakan, dikhianati, ataupun diperlakukan secara tidak adil. Di sinilah kadar kesabaran seseorang teruji. Namun ketika kesakitan demi kesakitan terus saja menghampiri, bisakah kita terus bersabar?

Kali ini Tere Liye kembali menyapa pembaca dengan menyuguhkan kisah apik yang menyentuh dan inspiratif. Ada banyak pembelajaran yang bisa diambil dari tokoh-tokoh karangannya. Tidak tanggung-tanggung, penulis memakai lima tempat sekaligus sebagai latar dalam novelnya.

Kisah bermula ketika Zaman Zulkarnaen, pengacara kelahiran Indonesia yang bekerja di firma hukum Thompson & Co di Belgrave Square, London, ditunjuk oleh pimpinannya untuk memecahkan kasus pencarian ahli waris dengan aset kepemilikan saham sebesar 10 miliar poundsterling/19 triliun rupiah (halaman 11).

Zaman terpilih untuk menangani settlement wasiat wanita bernama Sri Ningsih karena kesamaan latar belakang mereka. Ia dianggap lebih mampu dalam mengungkap kehidupan masa lalu Sri, termasuk ahli warisnya yang mungkin masih hidup (halaman 15).

Petualangan Zaman dimulai. Ia harus menelusuri tempat-tempat yang pernah bersinggungan dengan Sri Ningsih. Panti jompo di Paris merupakan tempat pertama yang ia datangi, mengingat kliennya mengembuskan napas terakhir di sana. Pihak panti pula yang pertama kali menelepon kantor Thompson & Co, atas permintaan Sri sebelum ia wafat. Berbekal buku harian Sri Ningsih yang didapat dari Aimee, pengurus panti, Zaman mendapat petunjuk mengenai tanah kelahiran wanita itu. Ia pun memutuskan untuk datang ke Pulau Bungin. Awalnya tentu tidak mudah menemukan orang yang bisa bercerita tentang masa 1940-an.

Beruntung, setelah pencarian hari kelima Zaman berhasil bertemu dengan Ode, atau yang biasa dipanggil Pak Tua oleh penduduk Pulau Bungin lainnya. Ia sangat mengenal Sri semasa kecil. Berdasarkan penuturan Pak Tua-lah, kisah masa kanak-kanak Sri Ningsih terurai. Sri lahir dari pasangan Nugroho dan Rahayu, pendatang dari Pulau Jawa, putri dari seorang pelaut tangguh. Ibunya meninggal saat ia dilahirkan. Delapan tahun kemudian sang ayah menikah lagi dengan Nusi Maratta.

Nusi sangat mencintai Nugroho, begitu pula kepada anak tirinya. Namun peristiwa memilukan yang menimpa keluarga mereka, membuat Nusi Maratta begitu membenci Sri Ningsih, bahkan dengan tega menyebut Sri sebagai anak yang dikutuk (halaman 85). Selang beberapa tahun setelah Nugroho meninggal, Nusi Maratta dikabarkan tewas terpanggang.

Tidak ada yang tersisa selain kenangan masa lalu yang menyedihkan. Sri bersama adik tirinya, Tilamuta, beranjak meninggalkan Pulau Bungin. Pergi ke Surakarta untuk  belajar di madrasah milik Kiai Ma'sum, kerabat gurunya.

Kisah berlanjut. Zaman terbang ke Surakarta untuk mengunjungi madrasah. Dari Nur'aini, putri Kiai Ma'sum sekaligus sahabat sejati Sri Ningsih, cerita muram kembali diurai. Tentang kedengkian yang membinasakan. Di tahun 1965 terjadi tragedi Pemberontakan PKI di Surakarta. Bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dengan melakukan tindakan keji: membunuh para kiai, tuan tanah, termasuk juga para santri hingga menjadikan madrasah masa itu tergenang darah. Peristiwa mengerikan itu membuat Sri memutuskan pindah ke Jakarta. Namun hantu masa lalu tetap mengikutinya hingga ia harus pergi keluar negri. Selain buku harian, Zaman menggali episode-episode kelanjutan dari kisah Sri Ningsih berdasarkan surat-surat Sri kepada Nur'aini.

Salah satu daya tarik dari novel ini adalah kejeniusan tokoh Zaman dalam mengaitkan potongan-potongan kisah silam Sri Ningsih. Bagaimana ia mengungkap penjahat utama dalam hidup Sri, dan kebenaran-kebenaran lain yang menjadi jawaban tentang ahli waris atas semua kekayaannya.

Sedangkan hal yang paling menginspirasi dan mengaduk hati pembaca tentu saja mengenai sosok Sri Ningsih. Kemalangan yang menimpanya bertubi-tubi membentuk karakter Sri menjadi perempuan dengan kepribadian luar biasa. Penyabar, gigih, inovatif, tidak mendendam bahkan sekadar berprasangka pun tidak. Benar-benar sosok yang menginspirasi dan sangat layak menjadi panutan.[]

(Pernah dimuat di harian Radar Sampit edisi Minggu, 27 Agustus 2017)

Senin, 07 Agustus 2017

Resensi: Ajarkan Budi Pekerti Melalui Dongeng


Judul Buku: Dongeng Pembentuk Akhlak Terbaik Sepanjang Masa
Penulis: Irma Irawati
Penerbit: Ziyad Books
Cetakan: 2016
Tebal Buku: 106 halaman
ISBN: 978-602-317-032-6

Mendidik anak sedari usia dini merupakan tanggung jawab sekaligus tantangan bagi para orang tua. Berbagai metode pun dilakukan demi memberi pengajaran hal-hal baik pada sang buah hati. Agar anak menjadi paham dalam membedakan baik-buruknya suatu tindakan serta risiko apa yang akan diperoleh nanti. Dan, bacaan berupa dongeng, hingga kini masih menjadi salah satu pilihan orang tua untuk mengenalkan putra-putrinya mengenai pentingnya memiliki akhlak terpuji.

Kumpulan dongeng pembentuk akhlak ini, berisikan sepuluh cerita dengan tokoh-tokoh hewan yang berprilaku layaknya manusia pada umumnya dengan tema beragam. Menariknya lagi, kesepuluh dongeng diramu berdasarkan pada hadis-hadis mengenai akhlak. Jadi selain menyimak cerita, anak pun bisa mencoba belajar menerapkan hadis itu dalam kehidupan sehari-hari.

Kisah pembuka berjudul Jangan Malu Dong, Robin! berkisah tentang Robin yang merasa malu ketika harus bercerita mengenai profesi ayahnya di depan kelas. Jauh berbeda dengan teman-temannya yang membanggakan pekerjaan ayah masing-masing (halaman 7). Di tengah perasaan malunya, teman-teman justru membesarkan hati Robin. Mereka memuji kehebatan Ayah Robin yang ahli memperbaiki dan membuat banyak benda. Hal itu menjadikannya tidak minder lagi dan berani untuk tampil. Robin baru menyadari bahwa pekerjaan ayahnya sebagai tukang servis perabot rumah tangga bukanlah sesuatu yang memalukan. Sang ayah adalah pahlawan keluarga dan penyelamat bagi barang-barang yang hampir tidak terpakai menjadi layak pakai.

Mengenai nafkah, Allah pun menyukai orang-orang yang makan dengan hasil keringatnya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan dalam HR. Bukhari:
"Tidaklah seseorang memakan sesuatu yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Daud, makan dari hasil pekerjaan tangannya."
(halaman 13). Melalui kisah ini, anak akan belajar memahami dan menghargai pekerjaan orang tua. Apa pun profesi mereka, selama itu mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang lain, patut dihargai dan syukuri. Pesan untuk bersikap baik dan kemauan mendukung teman yang tidak percaya diri juga tersirat pada cerita ini.

Pada kisah berikutnya, penulis mengambil tema berdasarkan salah satu HR. Muslim, bahwa Allah swt., tidak memandang hamba-Nya berdasarkan rupa, namun hatinya. Dikisahkan tentang Bibi Mery, seekor merak yang merasa penampilannya paling bagus dibanding tamu undangan lain. Saking sibuknya menilai dan membanding-bandingan pakaian orang lain dengan dirinya, ia kelaparan karena tidak sempat mencicipi hidangan yang telah disediakan. Ia juga tidak sempat mengobrol dengan mereka yang jarang ditemui.

Ketika tadi Bibi Mery sibuk menertawai dandanan orang lain, kini giliran ia sendiri yang jadi bahan tertawaan orang-orang. Perutnya mengeluarkan suara karena saking laparnya dan minta diisi (halaman 55-56). Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini ialah kesombongan tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagi pelakunya. Daripada terlalu sibuk dengan penampilan luar, akan lebih baik bila diimbangi dengan berbenah hati.

Temui pula kisah-kisah hewan lain yang tak kalah asyik dan menarik untuk disimak, seperti: Pak Sepo, si ikan sapu-sapu yang giat menjaga kebersihan. Koci, burung kakaktua yang bawel. Ada pula kisah Pak Bingo, si bangau baik hati yang selalu berusaha menebar manfaat bagi makhluk di sekelilingnya.

Inilah sarana belajar yang menyenangkan. Dengan membaca atau menyimak dongeng-dongeng yang ditawarkan dalam buku ini, anak tidak hanya akan terhibur, namun juga melatih daya imajinasi dan menambah pengetahuan. Belajar akhlak dan hadis bersama tokoh-tokoh hewan tentu tidak membuat anak cepat bosan.

Dengan gaya penyampaian yang ringan sesuai untuk usia dini, ilustrasi full colour  yang menggugah rasa penasaran, serta bonus lembar mewarnai di halaman belakang, membuat buku ini semakin layak untuk diburu.[]

Peresensi: Leli Erwinda

(Pernah dimuat di harian Singgalang edisi Minggu, 6 Agustus 2017)