Kamis, 15 Februari 2018

Resensi: Resapi Indahnya Hidup dengan Jalani, Nikmati, dan Syukuri Apa pun Kondisinya

Judul Buku: Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis: Dwi Suwiknyo
Penerbit: Noktah (DIVA Press Group)
Cetakan: I,  Januari 2018
Tebal Buku: 260 halaman
ISBN: 978-602-50754-5-2

Reaksi saya saat membaca buku ini adalah seketika merenung, kemudian tumbuh banyak pertanyaan  kepada diri sendiri, seperti: Apa sebenarnya tujuan hidupmu? Bagaimana caramu meraih tujuanmu itu? Apa kamu menikmati prosesnya? Sudahkah kamu menikmati hasilnya? dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan dalam pikiran. Dari sekian tanya yang ada, rupanya telah dijawab secara ringkas dan padat sejak awal membaca judul buku ini: Jalani, Nikmati, Syukuri.

Apa pun tujuannya, sesulit apa pun prosesnya, apa pun hasil yang didapat, ya dijalani, dinikmati, dan disyukuri. Terdengar simpel, ya? Tetapi memang itu yang ditawarkan penulis lewat karyanya ini. Penulis, dengan gaya penuturannya yang khas, sederhana tapi pas kena di hati membantu pembaca untuk mengurai keruwetan atau benang kusut yang memenuhi isi kepala yang menjadikannya tegang, kaku, menjadi lebih rileks. Membimbing kita untuk mencoba menyederhanakan masalah yang kadang kita sendiri-lah yang menjadikannya lebih besar dan lebih rumit. Seperti kondisi saat ini, sederet kegalauan yang hadir akibat bermasalah pada pekerjaan, keluarga, atau lingkungan, yang sumbernya jelas dari hati dan pikiran. Bila hati dan pikiran bisa diupayakan tetap tenang, jernih, maka perlahan masalah bisa diselesaikan satu demi satu dan galau pun seumpama badai, ia pasti berlalu.

Jangan Lupa Bahagia! pesan penulis, pada bab pembuka. Sebab tidak sedikit orang yang menjalani hidup, berjuang siang-malam demi mengejar target tapi tidak bahagia. Karena apa, mereka lupa menikmatinya. Terlalu ngoyo. Bukan tidak boleh bekerja keras, hanya saja jangan sampai membuat kita mengabaikan banyak hal. Abai pada kesehatan dengan memforsir diri demi pekerjaan, terlalu sibuk sampai tidak ada waktu untuk bercengkrama dengan keluarga apa lagi tetangga. Walau bagaimana pun tubuh perlu istirahat, dan jiwa butuh sandaran, penyegaran berupa hiburan, yang bisa didapat lewat cara-cara sederhana seperti bercanda dengan anggota keluarga, saudara, atau tetangga. Karena segagah apa pun kita kini, besok-besok ketika penyakit datang tak terelakan, tubuh tumbang di atas ranjang, mereka-lah yang akan merawat kita. Jadi jangan berjuang seorang diri. Libatkan mereka, orang-orang terkasih dalam setiap jejak perjalanan. Contoh kasusnya bisa ditemukan pada bagian prolog buku.

Bicara soal bahagia, timbul lagi pertanyaan. Kenapa seseorang sulit bahagia hingga hampir selalu terlihat murung, sampai-sampai sekadar tersenyum pun susah? Karena hari-harinya terlalu fokus dengan masalah dan penderitaan. Padahal itu semua bersifat sementara. Kalau terus-menerus begitu, bagaimana bisa kita menikmati hidup? Yuk, mulai berkawan dengan rasa sabar, syukur, dan tetap bahagia.

"Dan sungguh akan Kami berikan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar." (QS. Al-Baqarah [2]: 155) Berbahagia dan tetap tegar dalam segala situasi dan kondisi. Sebab bisa jadi keadaan yang aman-aman saja malah membuat manusia lupa pada Allah (halaman 15). Rasa butuh terhadap Tuhan berkurang karena  hidup baik-baik saja. Adanya masalah, menjadikan manusia untuk ingat pada penciptanya, lantas memohon petunjuk pada Yang Maha Pemberi Pertolongan. Bukan hanya Tuhan, rasa butuh terhadap orang-orang terdekat pun turut berkurang karena merasa bisa berdiri tegap tanpa orang lain. Hidup baik-baik saja tanpa bergantung pada siapa pun. Begitu gagal, atau jatuh sakit, barulah tersadar kalau hidup ini tidak bisa dilalui sendirian.

Bila kini kita sedang dalam situasi lupa untuk bahagia, maka mari menyimak bab berikutnya yakni: Belajar Bahagia. Belajar untuk bahagia meski tidak punya uang, dan bersikap wajar meski punya uang banyak. Hiduplah semampu dan senyaman kita. Kalau orang lain memiliki sesuatu, bisa jadi memang itulah yang dibutuhkan dalam hidupnya. Kita jelas punya standar kebutuhan hidup dan standar kenyamanan sendiri-sendiri (halaman 50-51). Pada bab ini penulis menekankan pentingnya sikap syukur. Merasa cukup atas rezeki yang diterima tanpa membanding-bandingkannya dengan rezeki orang lain sebab bisa memicu timbulnya rasa iri. Selama kita terus memandang ke atas, maka semakin pusing dan lelah sendiri yang kita dapat.

Selanjutnya adalah salah satu bab favorit saya: Kontes Kesengsaraan. Yang dari judulnya saja sudah menyiratkan kelucuan. Sengsara kok dijadikan ajang perlombaan? He he. Dan dugaan itu benar, saya terkekeh saat membaca cuplikan kisah pada bab ini. Penulis bercerita tentang pengalamannya bersama beberapa santri saat di pondok pesantren. Ketika perut keroncongan setelah seharian berpuasa, mereka malah datang terlambat ke dapur dan mendapat nasi keras sisaan yang menempel di pinggiran ceting. Oleh Mas Dwi, nasi-nasi sisa itu dikumpulkan dan diguyur dengan air putih yang kontan membuat teman-temannya melotot sempurna.

"Nah ini, nasinya sudah lembek, nggak keras lagi. Ayo, makan."

Lalu disantap dengan lahap begitu saja dan sebaliknya, temannya terlihat terpaksa melahap nasi itu. Beliau pun tertawa. Saya yang menyimak kisahnya jadi ikutan tertawa. Ha ha. Betapa terlihat indah kesengsaraan itu bila kita menyikapi dengan santai. Nikmati saja yang ada, bukan berandai-andai untuk sesuatu yang tidak ada.

Kisah tadi mengingatkan saya pada pengalaman semasa sekolah dulu saat ikut berkemah. Masih tentang nasi juga. Saat itu, beras yang anggota kelompok kami kumpulkan tidak sengaja terkena minyak tanah. Ditambah lagi di antara kami tidak ada yang bisa menanak nasi dengan baik. Walhasil, nasi yang dimasak tidak matang merata, sebagian masih ada yang keras. Belum lagi bercampur rasa dan bau minyak tanah. Sempurna, sudah. Tetapi kami tetap memakannya ketimbang menahan lapar. Pengalaman yang jelas tidak mengenakan tetapi memberi satu pelajaran bahwa, dengan menikmati kesengsaraan, justru menjadikannya lebih ringan untuk dilalui daripada meratapinya.

Selain bab favorit, ada pula bab yang saya banget, yakni: Selalu Ada Pilihan. Karena sejatinya hidup memang tentang pilihan-pilihan. Termasuk saya yang memilih bahagia dengan pilihan dan cara saya sendiri. Suatu keputusan yang mungkin bukan menjadi pilihan orang-orang kebanyakan. Bagi saya, tidak apa dinilai beda atau bahkan aneh atas jalan yang kita pilih. Selama tidak ada pihak yang dirugikan, selama masih sejalan dengan hati nurani, teruskan saja. Kita berhak memutuskan.

Berbahagialah saat kita masih punya pilihan-pilihan. Itu tandanya kita memiliki jalan kebahagiaan sendiri. Sebab, apa yang kita pilih, bisa jadi bukan pilihan orang lain. Kita bahagia melalui jalan yang kita pilih sendiri (halaman 113). Berani memilih, bersiap pula dengan segala konsekuensi yang ada. Termasuk disepelekan dan dinyinyiri tetangga. Anggap saja latihan mental. Makin lama makin kebal. He he.

Buku ini tidak tebal, tetapi ajaibnya banyak sekali yang bisa didapat dari membacanya. Sesekali saya dibuat mengangguk-angguk, beristighfar, merenung sekaligus malu. Khusus pada bab Belajar Menerima saya diajak untuk beristighfar berkali-kali. Istighfar atas banyak hal. Untuk kebodohan yang mudah menyalahkan orang lain. Disengaja atau tidak, terkadang saya memang menyalahkan orang lain atas kegagalan yang saya alami. Yang akarnya dari sikap mudah berputus asa, tergesa-gesa dan ingin hasil cepat.   Pada bagian lain lagi saya dibuat terkekeh. Senang sekali rasanya berkesempatan membaca buku ini. Apa lagi bisa menemukan kutipan-kutipan menarik yang membangkitkan harapan, menenangkan, menguatkan,  ada pula yang menohok.

"Anggap kontes kesengsaraan dalam hidup ini ialah kontes keimanan kita. Semakin sengsara, semakin terpancar keimanannya. Kepahitan hidup pun menjadi pupuk keimanan. Jadi subur imannya. Jadilah kuat. Sampai suatu saat kita bisa mengatakan dengan santai, "Ah, sengsara seperti ini sudah biasa." (halaman 73).

"Kemuliaan kita bukan ditentukan bagaimana cara orang lain bersikap kepada kita, tetapi dari bagaimana cara kita bersikap baik kepada mereka." (halaman 90).

"Hidup memang harus terus berlanjut. Tak peduli seberapa menyakitkan itu. Biarlah nanti waktu yang mengobatinya." (halaman 94).

"Bila ada situasi yang tidak menyenangkan, ingatlah puluhan situasi menyenangkan yang pernah kita lalui. Teruslah bersyukur sampai kita lupa caranya mengeluh." (halaman 168).

Selain kutipan-kutipan menarik, kisah-kisah berhikmah, disertai pula uraian pengambilan hikmah di tiap kisah. Mengandung nasihat, teguran-teguran yang dituturkan secara halus sehingga saya yang membacanya tidak merasa dihakimi atau digurui, lebih kepada mengingatkan dan mengajak untuk mawas diri.

Menarik dari segi isi, didukung pula dengan pilihan cover yang apik dan lay out di dalamnya. Lay out untuk buku non fiksi itu penting karena selain menambah daya tarik juga membantu pembaca untuk tetap betah menyelesaikan bacaan. Tidak monoton dan kegiatan membaca terasa lebih asyik.

Dari sekian banyak buku karangan penulis, ini adalah buku kelima beliau yang saya miliki dan saya khatamkan. Langsung masuk kategori favorit dan paling direkomendasikan bagi siapa pun yang butuh bacaan non fiksi yang bergizi dan menyenangkan sekaligus menenangkan saat dibaca. Semakin banyak pengalaman yang pernah dialami, materi-materi dalam buku ini akan semakin akrab di hati pembacanya.

Selamat berburu!

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^