Detak jarum
jam terus bergulir, tak kan bisa dihentikan, diulang, atau bahkan diubah. Tak peduli pada manusia-manusia
yang berjalan di tempat atau pada mereka yang telanjur salah mengambil sikap.
Terus dan terus saja berputar, meski keluhan demi keluhan acapkali menjurus padanya.
“Andai aku bisa mengulang waktu dan mengubah segala
apa yang terjadi kemarin. Tentu pikiranku tak kan serumit ini.” Felia mengembuskan
napas panjang. Ada lirik sesal yang bergelayut manja dalam otaknya.
Kemarin, saat berpapasan di laboratorium sekolah.
Felia menghalangi langkah Ken. Ken sontak terkejut dan menatap aneh gadis
lancang itu. Alis tebalnya saling bertaut namun bibirnya masih terkatup.
“Aku menyukaimu,”
Hening beberapa detik,
“Lalu? Apa peduliku?” tanya Ken, datar. Ia seolah
tak cukup peduli dengan apa yang baru saja di dengar.
“Begitukah jawaban yang kudapat? Aku menyukaimu,
sungguh. Kau … kau juga menyukaiku, bukan?
Kalau tidak, mana mungkin kau
mengirim puisi cinta ke ponselku?” Felia mengarahkan ponselnya ke wajah
Ken. Di
situ, memang tertera jelas bahwa si pengirim mengaku sebagai Ken.
“Dan kau dengan bodohnya percaya. Itu bukan nomorku.”
tegas Ken.
“Eh?”
“Benar. Sini,
biar kutunjukkan siapa pelakunya.”
Ken meraih ponsel Felia, memijit tombol-tombol
tertentu dan terakhir menekan tombol hijau. Matanya mulai menyapu pemandangan
sekitar.
"Yap, ketemu."
Ken mengisyaratkan Felia untuk mengalihkan pandangan
ke pojok kiri lapangan. Seorang pemuda dengan pakaian lusuh dan bertopi hitam
pudar, tengah memandangi layar poselnya, sementara lengan kirinya mengapit sapu
ijuk.
“Dia … dia pelakunya.” tuding Ken, mantap.
“Tidak mungkin. Ini mustahil.” elak Felia.
Menggeleng cepat.
Ken menggamit bahu Felia. Menatapnya lekat-lekat.
Dan melempar senyum iba namun sarat pesona.
“Dengar. Bukan maksudku mengabaikan rasamu. Tapi
sungguh, aku tak pernah mengirim pesan sekonyol itu. Dan tentang perasaanmu
padaku, percayalah, itu hanya buih.
Yang sewaktu-waktu dapat melenyap. Tanda sisa, tanpa arti. Paham?” Ken
menggeser Felia dari hadapannya agar menepi.
Kemudian melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
Gadis itu merasa tertohok. Ciut. Malu bukan main.
“Apa ini? Aku, aku ditolak? Memalukan,” desisnya. Ia
merasa malu, merasa rendah diri. Hancur nian
hatinya kala itu. Ia tak menyangka kalau kejadiannya akan seperti ini.
Felia menelepon ulang nomor tadi, namun dengan kartu
SIM lain. Ingin coba memastikan sekali lagi, apakah benar Bayu si anak penjaga
sekolah yang sudah mempermainkannya.
“Halo?” sapa pemuda di pinggir lapangan.
Deg.
Napasnya
kembali terasa sesak. Percuma memungkiri kenyataan ini. Sebab semua telah
terbukti.
Ken. Kenapa bisa aku begitu meyakini bahwa kau yang
mengirim pesan itu? Kita sudah jelas beda kasta. Kau keturunan bangsawan, aku
hanya rakyat jelata. Kau seseorang yang dipuja-puja, sementara aku dari kaum
pemuja. Kau ibarat berlian. Meski berada di antara butir-butir debu, sinarmu
kan tetap terpancar. Dan orang-orang akan dengan mudah mengenalimu. Ya, itulah
dirimu. Yang selalu menjadi pusat perhatian banyak orang. Lain halnya denganku,
aku hanyalah debu. Yang akan dengan mudahnya diinjak, ditiup, dan terasingkan.
Ratapnya, getir.
-End-
sepertinya pernah baca :)
BalasHapus^^
Di grup PATP, mbak. hhe
Hapus