Jumat, 03 Mei 2013

Akhir Penantian


Kurasa ini tak akan ada akhirnya. Sebuah penantian usang namun masih juga kekal dalam ingatan seorang gadis belia setengah gila. Apalagi kalau bukan perkara cinta. Sebuah rasa yang acapkali membuat pemiliknya terlupa. Bahwa apa yang dirasa, tak selalu harus kembali dengan bentuk yang serupa. 

Pengharapan. Mendamba sebuah timbal-balik atas apa yang sudah tercurahkan. Membenci apa yang tak semestinya dibenci.

Kukira kisah ini kan berakhir bahagia bak kisah menawan di novel roman yang biasa kubaca. Namun nyatanya aku malah makin terjerembap dalam lembah harapan yang melumerkan segala logika. Terus saja bertahan meski luka makin menyayat penuh siksa.

Walau hingga kini, harapku masih sia-sia belaka.

Wangi segar bunga di taman yang dulunya begitu akrab dengan hidungku. Kini seperti bau anyir darah yang mengusik tajam dan membuatku mual. Benang sari dan putik yang saling melengkapi membuat jijik. Benci. Kenapa aku tak seperti mereka. Dekat dan saling berbagi cinta.
Air mataku seketika tumpah ruah sia-sia. Berguguran menimpa rerumput liar yang hampir tiap hari terinjak banyak nyawa.

Pernahkah mereka mengeluh? Pernahkah mereka merasa hina? Atau justru masih sanggup tersenyum di atas luka?

Kuusap helainya yang sobek dan kotor tergilas roda sepeda. Aku mulai membuka percakapan dengan mereka.

“Akankah suatu saat kalian kan hidup tentram? Tanpa perlu lagi merasakan getirnya kehidupan. Jika jawabannya ‘Ya’ maka aku kan meniru kalian.”

Rumput liar hanya bergoyang lemah. Aku tak paham maksudnya apa.

“Atau malah kan mati sia-sia? Jika jawabannya tetap ‘Ya’ maka mungkin aku pun kan bernasib sama.”

Para pengunjung taman mulai berkerumun mengelilingiku. Menatap iba. Kenapa? Kenapa seperti itu? Apa aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini rambutku awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena dipukuli orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.

Cuih.

Kuludahi saja baju mereka. Ada yang kena, ada juga yang tidak. Hatiku mengembang bahagia. Sebab mereka kini sama hinanya denganku. Bau.

Lihat. Tatapan mereka yang awalnya teduh, kini menyala. Melotot seperti hendak melompat. Marah, mungkin. Namun apa peduliku. Kisah cinta sepihakku saja hingga kini tak ada yang peduli. Jadi untuk apa aku peduli pada orang lain.

Aku berlarian. Meninggalkan mereka sebelum amarahnya meledak-ledak. Lari dan terus lari hingga berhenti di tengah rel kereta api yang kebetulan tengah difungsikan. Orang-orang meneriakiku.

Kenapa? Kenapa seperti itu? Apa aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini rambutku awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena dipukuli orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.

Tunggu. Kali ini ada yang berbeda. Kereta api tinggal beberapa meter mencium tubuhku dengan manja. Apa yang harus aku lakukan? Menyelamatkan diri, atau membiarkan tubuhku tertabrak dan mati sia-sia?

Ah, ya. Pilihan kedua cukup menarik. Karena dengan begitu, penantianku akan segera berakhir. Selamat tinggal dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^