Kurasa ini tak akan ada
akhirnya. Sebuah penantian usang namun masih juga kekal dalam ingatan seorang
gadis belia setengah gila. Apalagi kalau bukan perkara cinta. Sebuah rasa yang
acapkali membuat pemiliknya terlupa. Bahwa apa yang dirasa, tak selalu harus
kembali dengan bentuk yang serupa.
Pengharapan. Mendamba
sebuah timbal-balik atas apa yang sudah tercurahkan. Membenci apa yang tak
semestinya dibenci.
Kukira kisah ini kan
berakhir bahagia bak kisah menawan di novel roman yang biasa kubaca. Namun nyatanya aku malah makin terjerembap
dalam lembah harapan yang melumerkan segala logika. Terus saja bertahan meski
luka makin menyayat penuh siksa.
Walau hingga kini, harapku
masih sia-sia belaka.
Wangi
segar bunga di taman yang dulunya begitu akrab dengan hidungku. Kini seperti
bau anyir darah yang mengusik tajam dan membuatku mual. Benang sari dan putik yang saling melengkapi
membuat jijik. Benci. Kenapa aku tak seperti mereka. Dekat dan saling berbagi
cinta.
Air mataku seketika
tumpah ruah sia-sia. Berguguran menimpa rerumput liar yang hampir tiap hari
terinjak banyak nyawa.
Pernahkah mereka
mengeluh? Pernahkah mereka merasa hina? Atau justru masih sanggup tersenyum di
atas luka?
Kuusap helainya yang
sobek dan kotor tergilas roda sepeda. Aku mulai membuka percakapan dengan
mereka.
“Akankah suatu saat
kalian kan hidup tentram? Tanpa perlu lagi merasakan getirnya kehidupan. Jika
jawabannya ‘Ya’ maka aku kan meniru kalian.”
Rumput liar hanya
bergoyang lemah. Aku tak paham maksudnya apa.
“Atau malah kan mati
sia-sia? Jika jawabannya tetap ‘Ya’ maka mungkin aku pun kan bernasib sama.”
Para pengunjung taman
mulai berkerumun mengelilingiku. Menatap iba. Kenapa? Kenapa seperti itu? Apa
aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini rambutku
awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena dipukuli
orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.
Cuih.
Kuludahi saja baju
mereka. Ada yang kena, ada juga yang tidak. Hatiku mengembang bahagia. Sebab
mereka kini sama hinanya denganku. Bau.
Lihat. Tatapan mereka
yang awalnya teduh, kini menyala. Melotot seperti hendak melompat. Marah,
mungkin. Namun apa peduliku. Kisah cinta sepihakku saja hingga kini tak ada
yang peduli. Jadi untuk apa aku peduli pada orang lain.
Aku berlarian.
Meninggalkan mereka sebelum amarahnya meledak-ledak. Lari dan terus lari hingga
berhenti di tengah rel kereta api yang kebetulan tengah difungsikan.
Orang-orang meneriakiku.
Kenapa? Kenapa seperti
itu? Apa aku tampak begitu menyedihkan? Aku baik-baik saja. Ya, hanya saja kini
rambutku awut-awutan tak jelas rupa. Wajah dan tubuhku penuh bekas luka karena
dipukuli orang sebab seringkali merusak bunga-bunga kesayangan pemiliknya.
Tunggu. Kali ini ada
yang berbeda. Kereta api tinggal beberapa meter mencium tubuhku dengan manja.
Apa yang harus aku lakukan? Menyelamatkan diri, atau membiarkan tubuhku
tertabrak dan mati sia-sia?
Ah, ya. Pilihan kedua
cukup menarik. Karena dengan begitu, penantianku akan segera berakhir. Selamat
tinggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^