Sabtu, 02 April 2016

Di Musim Patah Hati

Di Musim Patah Hati
Oleh: Leli Erwinda

"Patah."

"Apanya? Kemarilah, biar kuperbaiki."

"Yang patah di dalam dada, dengan apa kamu memperbaikinya?"

Lagi. Untuk ke sekian kali aku menyaksikan kerapuhan di mata embun Milia. Titik-titik bening yang senang berguguran di musim patah hati ciptaannya. Tidak pernah hilang dari ingatan bagaimana Milia menangisi berakhirnya kisah cinta orang lain.

"Mereka masih saling mencintai," ujarnya, sendu.

"Tahu dari mana? Jelas-jelas mereka saling memaki. Dan, kamu lihat, keduanya keluar kafe lewat pintu yang berlainan."

"Itu benar. Tapi sejak kapan mata bisa berbohong?"

Mata yang berbohong? Harusnya aku yang bertanya, sejak kapan mata bisa bicara. Oh, tidak-tidak. Tanyakan saja pada diriku, bagaimana bisa betah duduk berlama-lama bersama wanita melankolis seperti Milia?

"Sudah kukatakan padamu, Mil, kendalikan candumu pada film-film mellow drama. Begini 'kan jadinya?"

"Tapi yang di hadapan kita tadi bukan drama, Gha. Itu sungguhan," pungkasnya. Masih menatap nanar pada meja nomor tiga yang telah kosong. Sekosong hati dua sejoli tadi, barangkali.

Aku menyerah. Lebih baik diam atau Milia akan terus berceloteh dan semakin mengundang perhatian pengunjung lain. Meski langkah yang kuambil terlambat karena kini dua orang wanita muda sudah keburu menghampiri meja kami.

"Mbak nggak apa-apa?" tanya wanita berjilbab hijau tosca yang berdiri memunggungiku. Nadanya terdengar tulus.

"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Milia balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan. Awan kelam masih menyaputi langitnya.

Langit, yang menghitam karenaku. Ya, sejak perpisahan itu, sejak cinta yang tumbuh di antara kami dipaksa mati. Paska kematianku. []

Bandar Lampung, 07/03/2016

2 komentar:

  1. wah ini karya bunda ya ceritanya?
    benar-benar bagus bun..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Terima kasih, semoga terhibur. ^_^

      Hapus

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^