Selasa, 25 Juli 2017

Resensi: Pencarian Jati Diri Sang Gadis Tembakau


Judul Buku: Genduk
Penulis: Sundari Mardjuki
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2016
Tebal Buku: 232 halaman
ISBN: 978-602-03-3219-2

Sebuah novel bergaya memoar ini, disusun oleh Sundari Mardjuki berdasarkan hasil riset mendalam mengenai keluarga petani tembakau di desa Temanggung, Jawa Tengah, disertai tradisi masyarakatnya di era 70-an. Tokoh utama-lah yang nanti membawa pembaca pada kisah berharga, memetik hikmah dari fase hidup yang berhasil dilalui sebagai "gadis tembakau".

Gadis muda yang lebih akrab disapa Genduk, lahir dalam keluarga dan lingkungan petani di lereng Gunung Sindoro, Desa Ringinsari, Temanggung. Dibesarkan seorang diri oleh Yung (ibu) yang berwatak dingin dan keras, tanpa sosok Pak'e (bapak) di sisinya.

Genduk tidak pernah tahu seperti apa rupa bapaknya, namun ia bisa membayangkannya berkat penuturan Kaji Bawon, bahwa Pak'e memiliki perawakan tinggi dan gagah. Kulit bersih, tangannya halus, sehalus tutur katanya. Berbeda dengan Yung yang bertulang pipi tinggi dan menonjol,  terbalut bercak kehitaman akibat dijerang sinar matahari gunung (halaman 18-19).

Kala itu, Desa Ringinsari sedang musim tembakau. Segala yang dimiliki petani dipertaruhkan karena jenis tanaman ini telah menguji nyali petani sejak awal ladang dipaculi, ditanami, hingga masa panen. Selain butuh pupuk, benih yang ditanam harus ekstra dijaga dari gulma. Bila bibit mati, maka harus segera diganti dengan bibit baru (halaman 23).

Pupuk dan stok bibit yang memadai memerlukan biaya yang banyak. Itu berarti siapa punya banyak uang, dia yang akan bertahan. Sementara mereka yang keuangannya sulit, ketar-ketir. Tak ada jalan kecuali meminjam uang orang lain bahkan lari ke rentenir. Bila hasil penjualan tembakau baik, hutang bisa tertutupi. Sebaliknya, bila harga tembakau anjlok, petani akan semakin sulit karena terlilit hutang.

Tradisi. Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa penulis juga mengangkat adat kebiasaan turun-temurun masyarakat Jawa. Di awal musim memanam tembakau (hari wiwitan), penduduk sekitar lereng Sindoro melakukan ritual Among Tebal, tradisi memohon pada Gusti Allah agar panen melimpah.

Berarak menuju mata air Tuksari, semua orang berkumpul membawa aneka tumpeng: tumpeng putih, tumpeng kuning, dan tumpeng hitam. Ada ingkung ayam kampung, irisan telur dadar, buah-buahan, dan jajanan pasar (halaman 46-47).

Waktu terus melaju. Tumbuhan tembakau mulai kuat. Batangnya semakin besar dan kokoh. Setiap lembar daunnya adalah harta yang tidak ternilai, yang menjadi penentu hidup petani selanjutnya. Sembilan bulan hidup dalam keprihatinan akan ditentukan nasibnya dalam tiga bulan ke depan. Apakah daun-daun itu akan memberi laba atau justru malapetaka (halaman 66).

Pada masa panenlah para gaok/tengkulak melancarkan aksinya. Mempermainkan harga tembakau, mengakali petani, hingga Genduk terpaksa berurusan dengan gaok licik bernama Kaduk demi menyelamatkan penjualan tembakau ibunya.

Konflik semakin menderas, tak terbendung. Banyak fakta dan kejadian pahit yang mesti ia hadapi. Termasuk permasalahan petani yang memuncak ketika salah seorang warga bunuh diri karena tak kuat dipermainkan gaok. Dibarengi dengan upaya mencari jejak bapaknya, serta masalah demi masalah yang mesti ia selesaikan, di sinilah karakter Genduk semakin terbentuk.

Secara keseluruhan, tokoh Genduk mewakili sosok perempuan belia tangguh, cerdas, dan tanggap yang tidak hanya mampu membawa pengaruh besar bagi keluarga, namun juga lingkungannya. Keteguhan hati serta keberaniannya dalam mengambil sikap membawa warga pada keadilan yang pantas mereka dapat. Memberi pelajaran bahwa seseorang tumbuh bukan sekadar untuk mengejar pengakuan, namun mencari keadilan, kebenaran, yang bahkan di era saat ini makin abu-abu.[]
***

(Pernah dimuat di Harian Singgalang, Padang, pada 2 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkenan mampir. Silakan tinggalkan jejak. ^_^