Memandang
langit senja dengan semburatnya yang menjingga. Ketenangan. Ya, ada sebuah
ketenangan yang terlahir dari sana.
Kembalinya
sang mentari ke peraduan, langit jingga yang sedikit demi sedikit berubah mengelabu,
menghadirkan sejumput kenangan lamaku bersamanya.
***
“Apa
yang kamu suka dari senja?” tanya Trias, di suatu sore.
“Semuanya.
Aku suka sama corak warnanya, ketenangannya, apa lagi ada pangeran tampan yang
menemin aku menikmati senja.”
“Kamu
ini. Pintar ngerayu juga, ya.” Kami pun tertawa bersama. Kebahagiaan yang
tercipta dengan sangat wajar, antar dua insan yang sedang dilanda asmara.
“Kalo
kamu sendiri, apa yang bikin kamu betah duduk lama ngeliat matahari terbenam?”
“Aku suka dengan penyukanya. Dia cantik, baik, dan mempesona. Keindahan senja
selalu terpancar dari setiap lekuk wajahnya.”
Aku
terdiam sesaat. Menatap lekat dua bola mata hitam kecokelatan milik pemuda
berkontur wajah tirus. Mencoba menyelami lebih dalam bias matanya yang tajam
namun sesekali dapat terasa begitu teduh.
Sherin
dan Trias. Kutup utara dan selatan. Siapa yang menyangka kalau kami bisa
pacaran. Aku yang kurang mampu bersosialisasi dan menutup diri, sementara Trias
adalah cowok yang senang bergaul dan punya kenalan sana-sini. Dan makin tenar
lagi sebab sering melanggar aturan sekolah.
Ya,
kami memang berbeda spesies. Tapi semenjak aku mengenalnya lebih jauh, atau
lebih tepatnya semenjak kami resmi berpacaran, aku melihat sisi lain dari
dirinya. Trias bukan cowok urakan dan berwatak keras yang selama ini kulihat,
ia bisa bersikap sopan, perhatian, dan lembut terhadapku.
“Pulang,
yuk. Aku takut ibu khawatir dan nyariin aku.” Kami pun beranjak dari bibir
pantai dan bergegas pulang.
“Sherin,
kok baru pulang jam segini? Kamu dari mana aja, Nak?” tanya ibu, dengan seraut
wajah cemas, begitu melihatku memasuki pekarangan rumah.
“Dari…
kerja kelompok, Bu. Tempat temen.” Aku terpaksa berbohong, sebab kalau aku
bicara jujur, ibu pasti akan memarahiku.
“Lain
kali kalo mau kerja kelompok, di sini aja , ya. Supaya ibu nggak ketar-ketir
mikirin kamu. Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu sana. Habis itu solat.”
Aku
hanya mengangguk kemudian masuk kamar.
Seusai
sholat, aku duduk termenung di atas sajadah. Baru kali ini aku berbohong pada
ibu, dan rasanya begitu menyiksa. Ya
Allah, maafin Sherin.
Selesai
melipat sajadah, kuraih ponselku karena layarnya berkedip-kedip. 1 pesan masuk.
Trias.
“Sayang, kamu ada uang nggak? Aku
pinjem dulu ya, 50ribu aja. Aku tunggu di simpang jalan.”
Aku
mengernyitkan kening. Baru kali ini Trias berani meminjam uang padaku. Sebegitu
pentingkah?
Kuambil
selembar uang lima puluh ribuan dari dompetku, kemudian keluar rumah dan
mengayunkan langkah ke persimpangan gang. Trias sudah menungguku di sana.
“Ini,”
“Makasih
ya. Maaf ngerepotin kamu. Nanti kalo uang bulananku udah nyampe, pasti aku
balikin.”
“Nggak
usah, aku ikhlas, kok. Aku tau gimana sulitnya jadi anak kos.”
“Thanks, honey. Kamu pengertian banget.”
Baru
sebulan kami menjalin hubungan, Trias mulai kembali ke sifat aslinya. Bolos
sekolah, taruhan, dan berani merokok di depanku. Kupikir dia sudah berubah,
namun ternayata aku salah menilainya. Dengan segenap kesabaran, aku
menjemputnya setiap pagi agar ia mau berangkat ke sekolah. Kami sedang menghadapi latihan ujian nasional, dan aku
tidak ingin kalau Trias tidak lulus karena ulahnya sendiri.
“Rin,
nonton, yuk,” ajak Alya, teman
sebangku-ku.
“Nonton?
Berdua?”
“Ya
enggaklah. Tapi bertiga. Gue mau kenalin lo sama sepupu gue. Dikta.”
Alya
menarik lenganku menuju pintu bioskop. Seorang cowok berpostur tubuh tinggi
dengan kemeja biru muda yang begitu serasi dengan kulit putihnya, nampak
memusatkan pandangannya pada kami dengan memegang 3 lembar tiket. Jadi ini sepupunya Alya, cakep amat.
***
“Rin,
kok lo masih mau aja sih, pacaran sama Trias. Dia itu nggak cocok sama lo. Dan
menurut gue, lo bisa dapet yang lebih daripada Trias.”
“Maksud
lo apaan sih, Al. Kita baik-baik aja, kok,”
“Baik
dari sisi mana? Lo buka deh mata lo lebar-lebar. Udah berapa kali Trias pinjem
duit sama lo, udah berapa kali dia ngajakin lo bolos, udah berapa kali dia
berani ngomong kasar ke elo.”
“Gue
ikhlas kok ngadepin dia. Trias itu udah bikin gue punya banyak temen. Dia juga
yang ngajarin gue kalo masa muda itu, masanya buat have fun.”
“Lo
selalu aja nilai Trias dari sisi baiknya. Gue sebagai temen cuma bisa kasih
saran, mending lo udahan aja deh sama Trias. Dan lo coba buka hati lo buat
sepupu gue. Dia orangnya baik, kok, cerdas, dan juga royal. Yang pasti dia
lebih segala-galanya dibanding Trias.”
“Kok,
lo ngebet banget sih, maksa gue buat putus. Sebagai temen mestinya lo support gue dong, Al. Bukan kayak gini,”
balasku, kesal.
“Terserah deh, Rin. Gue nggak tau lagi gimana
cara ngerubah pola pikir lo. Lo udah buta.
Sorry, gue balik duluan.”
Alya
meninggalkanku sendirian di halaman depan perpustakaan. Sepertinya dia
benar-benar kesal padaku. Aneh, mestinya aku yang marah. Siswa lain juga sudah
mulai meninggalkan wilayah sekolah. Saat pikiranku mulai menerawang, mencoba
mencerna semua kata-kata Alya tadi, Trias duduk di sebelahku sambil menghisap
sepuntung rokok yang tinggal setengah bagian.
“Kamu
ke mana aja, kemaren? Bel pulang bunyi udah langsung kabur aja. Di telpon juga
nggak aktif,”
“Kemaren
aku pergi nonton sama Alya, sama sepupunya juga. Jadi hape sengaja aku matiin.”
“Cowok?”
Aku
mengangguk.
“Udah
aku tebak. Kamu jangan terlalu akrab deh sama Alya. Dia itu nggak baik buat
hubungan kita. Aku yakin, dia pasti mau nyomblangin kamu sama sepupunya. Alya
‘kan dari dulu emang kurang suka sama aku.”
“Kamu
bisa nggak, untuk nggak ngerokok depan aku. Aku paling nggak bisa ketemu sama asap
rokok.” Aku mendengus kesal, sambil menutup hidungku dengan sapu tangan.
“Sorry.
Aku lupa.” Trias meletakkan sisa putung rokoknya ke tanah lalu menginjaknya.
“Aku
nggak ngerti deh sama kamu. Kamu tuh sekarang mulai berubah, nggak kayak Trias
diawal-awal kita pacaran. Sekarang malah mulai ngelarang-ngelarang aku buat
berteman.”
“Loh,
aku kan pacar kamu. Jadi wajar dong. Soal perubahan sifat aku, ya inilah sifat
asliku. Kamu nggak suka?”
“Aku
nggak suka. Aku suka kamu yang lembut, perhatian, dan nggak ngekang aku kayak
sekarang ini.”
“Ngekang?
Aku cuma pengen yang terbaik buat hubungan kita, itu aja, kok. Kamu itu yang
berubah. Udah mulai nggak peduli dan nurut sama aku. Atau jangan-jangan, kamu
udah ada perasaan lagi sama sepupunya Alya?” tuding Trias.
Kami
terus bercekcok mulut. Trias menuduhku sudah mulai jatuh hati pada sepupu Alya.
Kata-kata kasarnya pun turut menggema di telingaku. Dan pertikaian kami
berakhir dengan sebuah kata. PUTUS.
“Apa?
Putus? Kamu mutusin aku cuma gara-gara cowok nggak jelas itu. Cowok yang baru
kamu kenal kemaren.”
“Cukup
ya, Trias. Ini semua sama sekali nggak ada hubungannya sama dia. Aku udah nggak
kuat ngadepin kamu.”
“Oke,
fine. Kita udahin sampe sini. Dan aku
pastiin, suatu saat kamu bakal nyesel sama keputusan ini. Bye.”
***
Berat
rasanya membuka kelopak mata yang terlanjur bengkak. Badanku pun terasa malas
untuk digerakkan. Aku tak ingin sekolah hari ini. Teman-teman pasti akan heboh melihat
monster bermata sembab. Tapi bagaimana dengan ujian sekolahku? Haruskah aku
melewatkannya begitu saja, dan harus mengulang di tahun depan? Ah, pilihan yang
sangat bodoh.
Kukompres
kelopak mataku dengan air hangat, lalu meminjam kacamata kak Vey agar sembabku
tak terlalu nampak jelas.
Sayang,
semua tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Para sahabatku sangat jeli
terhadap kondisiku. Begitu bel pulang berbunyi, mereka langsung menyergapku
dengan berbagai pertanyaan. Aku hanya bisa pasrah, dan menjawab pertanyaan mereka
sekenanya.
Trias
dan gengnya melewati ruang kelasku. Sesaat, matanya menatapku dingin melalui
kaca jendela, kemudian membuang pandangan dan kembali berbincang dengan
teman-temannya. Luka. Situasi seperti ini sungguh menyiksa. Kenapa harus
seperti ini? Tidak bisakah kita tetap berteman? Aku hanya bisa menatap punggungnya
hingga menghilang dari balik tembok.
***
“Rin,
aku masih sayang sama kamu. Jujur, selama ini aku cuma pura-pura cuek ke kamu.
Tapi hasilnya nol, Rin. Aku tetep aja nggak bisa move on. Kamu juga ngerasain hal yang sama, kan? Gimana kalo kita
ulang dari awal? Aku janji, aku nggak akan ngecewain kamu. Aku janji, aku nggak
akan ngatur-ngatur kamu lagi. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk bikin kamu
tersenyum. Kamu mau kan, kita balikan lagi?”
Aku
melihat kesungguhan dari mata Trias. Tapi aku bisa apa. Aku takut kecewa lagi,
meski di dalam hatiku nama Trias masih terukir dengan jelas.
“Hubungan
kita itu ibarat vas bunga yang udah pecah. Meski kita coba buat ngerekatkan
lagi sama lem, hasilnya nggak akan sempurna.”
“Tapi
kita bisa beli vas yang baru kan, Rin? Plis, jangan tolak permintaanku yang
satu ini. Aku masih bisa ngerasain kok, kalo kamu juga masih sayang sama aku.”
“Sekarang
segalanya beda, Yas. Hatiku udah jadi milik orang lain. Aku udah punya pacar.
Bukan sepupunya Alya. Dia kakak tingkatku.”
Trias
mulai bungkam. Sepertinya, dia akan menyerah. Dan itu akan membuat segalanya
menjadi lebih baik.
“Aku
nggak peduli. Mau kamu udah punya pacar, tunangan, atau suami sekalipun aku
nggak peduli. Aku cuma mau kamu, Rin. Cuma kamu. Aku tau, aku udah bikin banyak
kesalahan ke kamu. Makanya aku mau tebus semua itu. Terima uang ini. Ini uang
yang udah kupinjem sama kamu selama kita pacaran, totalnya lima ratus ribu.”
Trias meraih jemariku dan menyelipkan amlop pada genggamanku.
“Tapi,
Yas…”
Trias
tetap memaksaku menerima uang itu. Sebelum beranjak dari beranda rumahku, Trias
berjanji, akan terus menungguku. Asalkan bisa bersamaku, ia rela bila harus
menjadi yang ke-dua, bahkan yang ke-tiga
pun ia rela.
***
“Serius
banget ngeliatin langit senja. Lagi mengenang sang mantan ya?” Ledek seorang
pria yang kini duduk di sebelahku.
“Iya,
nih. Sang mantan yang sekarang naik derajat jadi pendamping hidup aku.”
balasku, dengan senyuman yang tak kalah jahil.
-End-